Belanda, Total Football dan Masalah-masalahnya

Ah, hal apa lagi yang lebih mengasyikkan di dalam alam pikiran manusia jika bukan ingatan akan masa lalu? Masa lalu, sejarah dan nostalgia adalah sesuatu yang mahal, lagipula merawat ingatan tak bisa dinilai dengan materi apapun.

Entah suka atau duka, masa lalu akan senantiasa membersamai hidup manusia hingga masa depan. Jika ingin bukti, lihatlah apa yang terjadi dengan tim nasional Belanda saat ini.

Belanda sebagai negeri sepakbola, sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Kalau sampai anda tidak tahu apa itu Total Football di dunia sepakbola, saya rasa anda ibarat menyelami lautan, tetapi urung melihat dengan seksama seperti apa keindahan terumbu karang didalamnya.

Total Football, permainan yang menitikberatkan pada penguasaan permainan, keindahan permainan dan kolektivitas tim baik itu saat menyerang dan bertahan, telah melejit di era 70an dan memang menjadi ciri khas dari sepakbola Belanda. Semenjak munculnya gaya permainan itu, Belanda menapaki tiga kali final Piala Dunia dan menuai satu kampiun Piala Eropa di tahun 1988.

Dalam Total Football, meski terlibat dalam kolektivitas, setiap pemain dibekali teknik individu yang baik. Karena untuk menyajikan permainan mempesona dan sedap dipandang mata, tentu diperlukan olah bola yang baik pula.

Pada mulanya, Rinus Michels si penemu Total Football, meramu filosofi bermain itu di Ajax. Kesuksesan klub dari Amsterdam itu merajai Belanda dan Eropa diawal era 70an, membuat Michels pada akhirnya ditunjuk menangai timnas Belanda. Sang pelatih kemudian menginjeksi Total Football di tubuh skuat Oranje.

Keberhasilan Michels menerapkan sepakbola menyerang itu juga harus diakui memang berkat dominasi pemain Ajax di timnas Belanda. Jika Michels adalah jenderal penyusun stategi perang, maka Johan Cruyff, juga anak didiknya di Ajax, ialah komandannya di lapangan.

Berkat Total Football yang legendaris itu, sepakbola Belanda begitu disegani.
Selama bertahun-tahun, gaya Total Football menjadi cetak biru bagaimana sepakbola Belanda dibangun. Selain permainan yang enak dilihat, buah darinya, banyak pesepakbola sangat berkualitas lahir dari sepakbola negeri kincir angin.

Siapa tak kenal pemain Belanda generasi 80an semacam Van Basten, Gullit dan Rijkaard. Kemudian generasi 90an seperti Bergkamp, Koeman, De Boer atau Seedorf hingga generasi mulai melejit di milenium 2000 seperti Van Persie, Robben dan Sneijder.

Namun, sehebat apapun pencapaian manusia, tetap saja ada sedikit cela didalamnya. Total Football ala Belanda selain menarik disaksikan dan begitu menjiwai sepakbolanya, tetapi disisi lain juga menyimpan duka bersamanya.

Di era keemasan Belanda, meski dipuja-puji setinggi langit, mereka haruslah tetap menginjakkan kaki di bumi. Di Piala Dunia, mereka terjungkal dari efektifitas ala Jerman di 1974, harus kalah dari sepakbola menawan lain bernama “Menottisimo” di 1978 dan justru dilumat Spanyol di 2010, yang ironisnya Tiki-taka adalah evolusi dari Total Football itu sendiri.

Selain efek positif, Total Football bisa juga berefek negatif bagi Belanda. Positifnya, banyak pemain dari Belanda yang berkemampuan individu istimewa. Tempaan dari ideologi itu mau tidak mau menggiring mereka untuk mengeksplorasi teknik bermain sedemikian rupa, karena memang dibutuhkan ketrampilan ekstra dalam menampilkan sepakbola yang “baik” dan dominan seperti Total Football.

Tetapi, filosofi yang sudah sangat mengakar di pesepakbolaan Belanda itu, lambat laun menumbuhkan buah pemikiran dan mentalitas yang bisa dikatakan buruk. Para pelaku sepakbola dari sana entah secara sadar atau tak sadarkan diri, seakan lebih mengedepankan bagaimana bermain (menguasai) sepakbola dengan baik, daripada bagaimana bermain agar memenangi pertandingan.

Hal itu semacam penyakit. Manchester United pernah merasakan bagaimana timnya serasa didikte “how to play good (possesion ball) football”, daripada “how to win the game” ketika seorang meneer Belanda, Loius Van Gaal melatih klub tersebut. Yang lebih parah ketika itu, dengan materi yang tak mendukung untuk “Total Football”, bukannya menguasai bola dan permainan indah didapat, justru permainan menjemukan karena terlalu berlama-lama dengan bola dituai.

Hal yang sama diperoleh Everton musim 2017/18 ini. Ronald Koeman yang sukses di Southampton justru gagal di Everton pada musim keduanya ini. Setali tiga uang, Frank De Boer, yang coba menyegarkan penglihatan suporter Crystal Palace dengan possesion football-nya yang sukses di Ajax, justru menemui kekecewaan total di Inggris.

Satu hal yang tidak hilang dari setiap pelatih Belanda adalah “penguasaan bola”. Tentu hal itu tak dapat dipungkiri lagi, akibat dari jiwa pesepakbolaan Belanda yang sangat dipengaruhi oleh Total Football sejak dari dahulu kala.

Lalu, bisa kah mengatakan mental “yang penting menguasai laga” daripada “yang penting memenangi laga” ini adalah faktor utama kemerosotan sepakbola Belanda? Bisa dikatakan iya, namun tidak tunggal.

Belanda juga bermasalah dengan regenerasi pemain. Andai kata penghuni timnas akhir-akhir ini adalah pemain-pemain yang lebih berkualitas, tentu mereka mampu lebih banyak memberikan perlawanan berarti untuk melaju ke Rusia. Tetapi lihatlah skuat saat ini.

Hanya ada segelintir andalan timnas yang berasal dari klub besar Eropa. Jasper Cillessen (Barcelona), Daley Blind (Manchester United), Giorginio Wijnaldum (Liverpool), Kevin Strootman (Roma) dan Arjen Robben (Bayern Muenchen). Itu saja dengan situasi; Cillessen menghangatkan bangku cadangan Barca, Blind dirotasi dengan Matteo Darmian, Strootman dan Wijnaldum bolak-balik cedera dan Robben dimakan usia.

Netherlands' forward Arjen Robben acknow
Robben pensiun dari timnas, ketika Belanda sedang dalam masa-masa terpuruknya.

Memphis Depay memang bagus musim ini, tetapi dia sedang di Lyon, bukan Manchester United lagi. Sneijder sudah menua. Kini harapan Belanda dipanggul pemain semacam Quincy Promes dan Davy Propper. Anda belum tahu siapa mereka? Promes adalah sayap dari Spartak Moskow dan Propper itu gelandang Brighton & Hove Albion, ya.

Jika kebanyakan diisi pemain dari klub medioker dan minim pemain bintang, bisa Anda bayangkan sendiri kenapa melawan tim seperti Islandia dan Swedia saja, Belanda kesulitan bersaing.

Ketika dahulu banyak pemain Belanda menjadi andalan klub besar, kenapa sekarang banyak pemain muda Belanda yang bertebaran di klub semenjana? Tentu itu harus dijawab dengan penelitian dan kajian serius nan mendalam tentang masalah pada Belanda.

Tetapi misalnya satu contoh masalah, tentang pemain muda Belanda masa kini yang terlalu gampangnya mereka mengiyakan tawaran untuk merantau terlalu dini. Anda harusnya ingat kejadian Ricardo Kishna atau Anwar El Ghazi yang dijuluki “The Next Ronaldo”.

El Ghazi, semenjak keluar dari Ajax, kini mentok bersama Lille di Prancis. Kishna malahan kini bermain di ADO Den Haag, klub semenjana di Eredivisie Belanda, setelah gagal di Lazio. Belum lagi menghitung Luuk De Jong, Siem De Jong, Leroy Fer atau Jordy Clasie, yang sempat digadang menjadi andalan masa depan Belanda, namun kini semuanya menghilang dari radar.

Kapten Ajax musim lalu, Davy Klaassen kini terpaksa meratapi nasib menjadi “ban serep” di Everton. Bagaimana dengan Vincent Janssen? Kini dia dibuang oleh Tottenham ke Fenerbahce.

Memangnya klub-klub di Belanda tidak bisa memproduksi pemain-pemain berkualitas? Tentu saja bisa, tetapi apakah kualitas dan mental mereka terasah dengan baik, hal itu belum pasti.

Kompetisi sepakbola Belanda bukanlah yang paling kompetitif di Eropa. Selain itu, prestasi klub-klub Belanda (dengan pemain-pemain Belanda di dalamnya) di kompetisi Eropa juga surut akhir-akhir ini. Ajax, PSV dan Feyenoord tak mampu menuai sesuatu berarti di level benua.

Benang merahnya, bagaimana timnas Belanda beprestasi kalau rata-rata pemainnya ada di klub medioker dan berada di klub lokal yang minim daya kompetitifnya di Eropa? Mungkin ini bisa dijawab dengan: strategi pelatih bisa menuntaskan masalah tersebut. Tetapi, lagi-lagi Belanda juga bermasalah pada kursi kepelatihan dan manajemen organisasi KNVB.

Dalam kurun tiga tahun terakhir (semenjak ditinggal Van Gaal), De Oranje sudah tiga kali berganti nahkoda kapal. Bergonta-ganti pelatih tentu membuat stabilitas tim menuai pertanyaan besar.

Belum lagi Belanda terlalu gegabah dengan menunjuk seorang minim pengalaman seperti Danny Blind. Kesalahan juga ada di KNVB atau PSSI-nya Belanda. Mereka dituding tidak punya visi jelas, yang berujung chaos di timnas Belanda dalam kurun waktu empat-tiga tahun terkahir.

Kalau dikerucutkan, permasalahan Belanda adalah begini kiranya. Pertama, Total Football yang mulai usang dan hanyalah kejayaan masa lalu. Lagipula, permainan indah itu juga terbarengi dengan ironi Belanda diantara kehebatan dan kepahitan sejarah. Sudah saatnya Belanda move on dari nostalgia akan masa lalunya.

Kedua, Total Football yang terlanjur mempengaruhi pola pikir dan mental pesepakbolaan Belanda. Pola pikir mementingkan bagaimana memainkan sepakbola yang baik, daripada bagaimana memperoleh kemenangan, menjadi semacam penyakit tujuh turunan.

Lain daripada itu, meski pada akhirnya menghasilkan individu berbakat, mentalitas pemenang tidak tumbuh pada skuat Belanda, yang secara alam bawah sadar terbiasa mementingkan permainan bagus daripada hasil yang bagus.

Ketiga, soal regenerasi. Padahal saya yakin banyak sekali pemain muda potensial dari Belanda. Tetapi masalahnya, kompetisi di Belanda ketinggalan jauh dari negara-negara lain. Tak heran, kenapa para pemain mudanya terlalu gegabah mencoba kerasnya dunia luar, padahal disisi lain skill dan mental mereka belum siap sepenuhnya untuk itu.

Disamping godaan gaji yang lebih berlimpah jika bermain diluar Belanda. Lain daripada itu, klub-klub di Belanda juga tak kompetitif untuk ukuran Eropa, itulah kenapa Belanda tetap saja ringsek meski mengandalkan pemain-pemain andalan dari Ajax, PSV dan Feyenoord atau klub Belanda lainnya.

Soal adaptasi dengan dunia luar, pemain Belanda juga punya kekurangan. Dalam mengembangkan pesepakbola, Belanda sangat mementingkan kualitas setiap individu pemain muda. Maka tak heran, Belanda selalu bisa menelurkan bakat-bakat muda potensial. Tetapi soal materi taktik bagi pemain muda, lain lagi. Rasanya dalam mengembangkan pemain muda, otoritas disana kurang memberi porsi lebih tentang taktik.

Bisa jadi karena terpacu demam Total Football, disana pemain U-18 masih saja dijejali porsi “ball mastery” atau penguasaan teknik-teknik bermain bola yang baik. Disatu sisi edukasi teknikal semacam itu membuat kemampuan individu pemain terasah, tetapi tanpa edukasi taktik yang memadai justru menjadi blunder tersendiri. Maka tidak heran, pemain Belanda alumni Piala Dunia 2014 banyak yang tenggelam saat ini, meski performa bagus mereka membuat Belanda finis peringkat tiga.

Keempat, terlalu seringnya berganti pelatih dan tak jelasnya visi dari KNVB dalam membangun pesepakbolaan Belanda, tentu ikut berdampak pada kehancuran mereka saat ini.

Total Football memang indah, kawan. Saya bukan membenci, tetapi realistis saja. Untuk apa berkompetisi dengan menendang kulit bulat, kalau kemenangan bukan tujuan akhir?

Tak perlu lah sekiranya Belanda bermain catenaccio hanya demi memperoleh hasil. Ada contoh seperti Spanyol, yang mampu mengharmonisasikan permainan indah dengan kemenangan. Kalau dulu Spanyol sudi belajar dari Belanda tentang Total Football, harusnya sekarang mereka tak malu untuk berbalik dan belajar dari Spanyol tentang Tiki-taka, kenapa tidak?

Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan? Jalannya hanya satu, mereka harus belajar dan sadar diri tak lagi menjadi kekuatan besar. Bahkan kini mereka tertinggal jauh dari Belgia, tetangga mereka yang dulu mereka remeh-temehkan karena kesulitan lolos turnamen besar.

Hakim Ziyech menolak panggilan Belanda dan lebih memilih timnas Maroko. Pilihan itu dikritik Van Basten sebagai pilihan tak masuk akal, karena Belanda, katanya sang legenda jauh lebih besar dari Maroko. Namun, kini Van Basten sendiri harus melihat Ziyech dan kolega bertarung di Rusia nanti, manakala dia meratapi diri tak akan melihat kaus Oranje disana pada 2018.

marco-van-basten independet
Andai kritik Van Basten untuk Hakim Ziyech terjadi delapan atau sepuluh tahun lalu, itu benar. Tetapi untuk sekarang, justru kritiknya menjadi semacam ironi tersendiri kalau tidak ingin disebut “dagelan”.

Dahulu kala, rasanya mustahil ada pemain sepakbola menolak panggilan dari timnas bereputasi besar seperti Belanda. Namun, peristiwa Ziyech menjadi gambaran bahwa, Belanda sudah tak dianggap lagi oleh pemain potensial sebagai timnas yang “besar”. Bisa jadi hal ini akan memicu pemain-pemain keturunan Belanda lainnya untuk menolak berseragam Oranje.

Kegagalan Belanda harusnya dimaknai sebagai alarm bagi mereka untuk segera berbenah, bahwa Total Football dan segala dampak pemikiran dan mentalitasnya tidak seratus persen salah, tetapi harus ada inovasi sesuai perkembangan zaman.

Lain daripada itu, ternyata federasi sepakbola mereka, KNVB juga bermasalah dan perlu segera berbenah. Kalau tidak, mungkin saja Belanda akan terhapuskan namanya dari sepak bola suatu saat nanti.

Sumber foto dari independent.co.uk dan metro.co.uk.


Berani Bersaing

Jika kita memandang sepakbola Eropa, pasti yang akan sering kita pantau adalah liga besar di Inggris, Italia dan Spanyol. Sejarah, tradisi, popularitas dan banyaknya penggemar menjadikan tiga liga teratas di tiga negara tersebut; Premier League, Serie A dan La Liga paling diminati.

Tetapi kenyamanan trio liga teratas itu kini mulai terusik, liga lain seperti Bundesliga dari Jerman, Ligue 1 Perancis, Eredivisie Belanda, dan Liga Primeira Portugal semakin berbenah untuk menjadi yang terbaik, namun dari semua liga diluar Inggris, Spanyol dan Italia yang paling patut dicermati adalah progres dari Bundesliga.

Kemajuan kompetisi liga teratas Jerman ini semakin terlihat, dan contoh nyata kemajuan itu bisa dilihat dari koefisien ranking liga-liga di Eropa. Jerman nangkring di posisi 2 dengan menggusur Inggris dan Italia ke posisi 3 dan 4, apa yang menjadi kunci hingga sepakbola Jerman menjadi sedemikian kuatnya? Manajemen klub yang profesional dan pengembangan pemain muda yang baik adalah jawaban dari semua ini.

Manajemen yang profesional menjadikan klub-klub Jerman mampu mengelola klub dengan baik, tidak hanya soal keuangan saja, stadion dan suporter juga menjadi basis yang dikelola dengan baik oleh klub di Jerman.

Pada umumnya klub di Jerman punya stadion sendiri, selain itu klub juga sering mengenakan tarif murah untuk tiket stadion sehingga tidak heran jumlah penonton langsung di stadion sepakbola begitu banyak disana. Hal ini juga ditambah oleh kebijkan tepat DFB (asosiasi sepakbola Jerman) yang mendirikan ribuan sekolah sepakbola di seantero wilayah Jerman.

Sadar bahwa tim nasional selalu butuh regenerasi, DFB melontarkan ide untuk mendirikan banyak sekolah sepakbola yang juga ditunjang dengan banyaknya kompetisi dan turnamen untuk pemain muda, selain itu untuk menambah daya pikat dan semangat pemain muda juga diselenggarakan penghargaan Fritz-Walter medal untuk kategori pemain muda terbaik U-19 dan U-17.

Beberapa bintang Jerman pernah memperoleh gelar ini, baik di kategori U-19, U-18 (sekarang sudah digabung ke U-19 sejak 2015) dan U-17 dan dengan medali emas, perak atau juga perunggu. Beberapa dari mereka adalah Manuel Neuer, Thomas Mueller, Jerome Boateng, Mario Goetze, dan Andre Schurrle.

Imbasnya adalah konsistensi klub-klub Jerman di kompetisi Eropa, entah di Liga Champions atau Liga Eropa sehingga menaikkan koefisien Jerman ke peringkat 2 hingga kini.

Sebenarnya soal profesionalitas manajemen, klub di Inggris lebih baik daripada Jerman, akan tetapi prestasi klub Inggris tidak seberapa hebat di Eropa akhir-akhir ini, sedangkan terkait pengembangan pemain muda, Inggris tidak memberikan perlakuan khusus selain penerapan kuota home-grown player dan lagipula sudah menjadi hal umum yang menjadi kebiasaan klub Inggris membeli pemain yang sudah “jadi”.

Jerman juga mengalahkan Italia, terlebih Italia dikenal dengan manajemen klub yang buruk dan tidak peduli dengan pengembangan pemain muda, ditambah dengan prestasi klub Italia di level Eropa yang menurun setiap tahun, maka tidak heran mereka disalip Jerman dan tertinggal jauh.

Inkonsistensi klub Inggris di Eropa dan kemunduran sepakbola Italia hanya menjadi faktor tambahan dari melejitnya persepakbolaan Jerman akhir-akhir lima tahun ini.

Setelah kemajuan Jerman, ada sepakbola Perancis yang juga menarik perhatian. Hadirnya Paris Saint-Germain dengan gelontoran uang besar dari investor Timur Tengah yang mampu membuat pemain bintang seperti Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, Lucas Moura, Marco Verratti, David Luiz hingga Thiago Silva merapat.

Monaco pernah menyaingi dengan mendatangkan James Rodriguez, Radamel Falcao, dan Joao Moutinho namun sekarang uang dari pebisnis Rusia, Dmitry Rvbolovlev sudah tidak banyak hingga Monaco tidak berani membeli pemain mahal lagi seperti PSG.

Peningkatan sepakbola Perancis seolah terdongkrak karena PSG, namun tidak lebih dari itu karena Perancis tetap saja seperti dulu, dengan liga-liga nya terutama Ligue 1 sebagai pencetak pemain muda berbakat. Belanda juga demikian, klub-klub mereka kini menjadi santapan klub yang lebih besar ketika berlaga di Eropa dan hanya sekedar menjadi liga penghasil pemain muda berbakat, padahal dulu klub seperti Ajax mampu juara Liga Champions.

Prestasi sepakbola Portugal masih lebih baik dari Belanda, disamping menjadi ladang perkembangan pemain muda potensial, klub-klub Portugal juga lumayan sukses di Eropa akhir-akhir ini, meski hanya di Europa League yaitu; Porto (juara musim 2010-2011), Benfica runner-up 2012-2013 dan 2013-2014.

Namun meski tidak diunggulkan, klub-klub dari Jerman, Perancis, Belanda, dan Portugal tidal boleh dianggap enteng oleh klub Spanyol, Inggris dan Italia yang lebih diunggulkan.

Meski secara tradisi, reputasi dan kekuatannya masih belum sepadan (kecuali Muenchen yang memang sudah selevel dengan Madrid-Barca) namun beberapa kali klub diluar trio Inggris-Spanyol-Italia mampu berikan kejutan, hal ini lah yang akan selalu dinanti hingga berakhirnya Liga Champions dan Europa League di bulan Mei 2017 nanti. Kita tunggu dan semoga saja, karena seperti judul artikel ini mereka itu “Berani Bersaing”.

Jika kita memandang sepakbola Eropa, pasti yang akan sering kita pantau adalah liga besar di Inggris, Italia dan Spanyol. Sejarah, tradisi, popularitas dan banyaknya penggemar menjadikan tiga liga teratas di tiga negara tersebut; Premier League, Serie A dan La Liga paling diminati.

Tetapi kenyamanan trio liga teratas itu kini mulai terusik, liga lain seperti Bundesliga dari Jerman, Ligue 1 Perancis, Eredivisie Belanda, dan Liga Primeira Portugal semakin berbenah untuk menjadi yang terbaik, namun dari semua liga diluar Inggris, Spanyol dan Italia yang paling patut dicermati adalah progres dari Bundesliga.

Kemajuan kompetisi liga teratas Jerman ini semakin terlihat, dan contoh nyata kemajuan itu bisa dilihat dari koefisien ranking liga-liga di Eropa. Jerman nangkring di posisi 2 dengan menggusur Inggris dan Italia ke posisi 3 dan 4, apa yang menjadi kunci hingga sepakbola Jerman menjadi sedemikian kuatnya? Manajemen klub yang profesional dan pengembangan pemain muda yang baik adalah jawaban dari semua ini.

Manajemen yang profesional menjadikan klub-klub Jerman mampu mengelola klub dengan baik, tidak hanya soal keuangan saja, stadion dan suporter juga menjadi basis yang dikelola dengan baik oleh klub di Jerman.

Pada umumnya klub di Jerman punya stadion sendiri, selain itu klub juga sering mengenakan tarif murah untuk tiket stadion sehingga tidak heran jumlah penonton langsung di stadion sepakbola begitu banyak disana.

Hal ini juga ditambah oleh kebijkan tepat DFB (asosiasi sepakbola Jerman) yang mendirikan ribuan sekolah sepakbola di seantero wilayah Jerman.

Sadar bahwa tim nasional selalu butuh regenerasi, DFB melontarkan ide untuk mendirikan banyak sekolah sepakbola yang juga ditunjang dengan banyaknya kompetisi dan turnamen untuk pemain muda, selain itu untuk menambah daya pikat dan semangat pemain muda juga diselenggarakan penghargaan Fritz-Walter medal untuk kategori pemain muda terbaik U-19 dan U-17.

Beberapa bintang Jerman pernah memperoleh gelar ini, baik di kategori U-19, U-18 (sekarang sudah digabung ke U-19 sejak 2015) dan U-17 dan dengan medali emas, perak atau juga perunggu. Beberapa dari mereka adalah Manuel Neuer, Thomas Mueller, Jerome Boateng, Mario Goetze, dan Andre Schurrle.

Imbasnya adalah konsistensi klub-klub Jerman di kompetisi Eropa, entah di Liga Champions atau Liga Eropa sehingga menaikkan koefisien Jerman ke peringkat 2 hingga kini.

Sebenarnya soal profesionalitas manajemen, klub di Inggris lebih baik daripada Jerman, akan tetapi prestasi klub Inggris tidak seberapa hebat di Eropa akhir-akhir ini, sedangkan terkait pengembangan pemain muda, Inggris tidak memberikan perlakuan khusus selain penerapan kuota home-grown player dan lagipula sudah menjadi hal umum yang menjadi kebiasaan klub Inggris membeli pemain yang sudah “jadi”.

Jerman juga mengalahkan Italia, terlebih Italia dikenal dengan manajemen klub yang buruk dan tidak peduli dengan pengembangan pemain muda, ditambah dengan prestasi klub Italia di level Eropa yang menurun setiap tahun, maka tidak heran mereka disalip Jerman dan tertinggal jauh.

Inkonsistensi klub Inggris di Eropa dan kemunduran sepakbola Italia hanya menjadi faktor tambahan dari melejitnya persepakbolaan Jerman akhir-akhir lima tahun ini.

Setelah kemajuan Jerman, ada sepakbola Perancis yang juga menarik perhatian. Hadirnya Paris Saint-Germain dengan gelontoran uang besar dari investor Timur Tengah yang mampu membuat pemain bintang seperti Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, Lucas Moura, Marco Verratti, David Luiz hingga Thiago Silva merapat.

Monaco pernah menyaingi dengan mendatangkan James Rodriguez, Radamel Falcao, dan Joao Moutinho namun sekarang uang dari pebisnis Rusia, Dmitry Rvbolovlev sudah tidak banyak hingga Monaco tidak berani membeli pemain mahal lagi seperti PSG.

Peningkatan sepakbola Perancis seolah terdongkrak karena PSG, namun tidak lebih dari itu karena Perancis tetap saja seperti dulu, dengan liga-liga nya terutama Ligue 1 sebagai pencetak pemain muda berbakat. Belanda juga demikian, klub-klub mereka kini menjadi santapan klub yang lebih besar ketika berlaga di Eropa dan hanya sekedar menjadi liga penghasil pemain muda berbakat, padahal dulu klub seperti Ajax mampu juara Liga Champions.

Prestasi sepakbola Portugal masih lebih baik dari Belanda, disamping menjadi ladang perkembangan pemain muda potensial, klub-klub Portugal juga lumayan sukses di Eropa akhir-akhir ini, meski hanya di Europa League yaitu; Porto (juara musim 2010-2011), Benfica runner-up 2012-2013 dan 2013-2014.

Namun meski tidak diunggulkan, klub-klub dari Jerman, Perancis, Belanda, dan Portugal tidal boleh dianggap enteng oleh klub Spanyol, Inggris dan Italia yang lebih diunggulkan.

Meski secara tradisi, reputasi dan kekuatannya masih belum sepadan (kecuali Muenchen yang memang sudah selevel dengan Madrid-Barca) namun beberapa kali klub diluar trio Inggris-Spanyol-Italia mampu berikan kejutan, hal ini lah yang akan selalu dinanti hingga berakhirnya Liga Champions dan Europa League di bulan Mei 2017 nanti. Kita tunggu dan semoga saja, karena seperti judul artikel ini mereka itu “Berani Bersaing”.

Dua Raksasa

Spanyol sedang dalam masa kejayaan sepakbola, dalam dekade belakangan ini baik itu tim nasional ataupun klub asal Spanyol sama-sama mampu mendominasi Eropa atau bahkan juga dunia.

Tim nasional Spanyol menjuarai Euro 2008, Piala Dunia 2010 dan Euro 2012, tidak ada tim nasional lain yang mampu menyamai rekor juara beruntun seperti itu dimanapun. Sejak 2006 hingga 2016 (sudah 10 musim terakhir ini), sudah 6 kali pula Liga Champions dikuasai tim dari Spanyol dengan rincian; Barcelona 4 dan Real Madrid 2 juara.

Begitu juga di kompetisi kasta kedua, Europa League dimana Spanyol terlalu tangguh untuk tim dari negara lain, tercatat sejak musim 2005-2006 hingga 2015-2016, tujuh kali yang menjadi juara adalah klub Spanyol. Atletico Madrid dua kali sementara Sevilla lima kali yang bahkan tiga dari lima trofi tersebut diraih dalam tiga musim akhir ini. Luar biasa, Spanyol benar-benar dalam puncak kejayaan.

Apa yang menjadikan Spanyol begitu menkutkan dalam dunia sepakbola akhir-akhir ini? Jawabannya tidak lain karena duo Clasico, Real Madrid dan Barcelona, persaingan antar rival abadi penuh sejarah ini menjadikan sepakbola Spanyol begitu hebat. Harus diakui, Madrid dan Barca adalah dua tim terbaik dunia, kerja keras dua tim tersebut untuk selalu mendominasi satu sama lain berdampak positif bagi Spanyol.

Pemain berkualitas bintang dunia selalu hadir mengisi skuad kedua tim tersebut, keberadaan pemain Spanyol di dua tim tersebut juga menguntungkan tim nasional Spanyol. Ketika menjuarai Euro 2008, Euro 2012 dan Piala Dunia 2010 juga berkat keberadaan pemain-pemain dari dua tim ini.

Imbas lain adalah meningkatnya level permainan tim lain diluar El Clasico, tim seperti Atletico, Sevilla, Villareal, dan tim-tim lain saling berusaha sekuat tenaga untuk mengganggu kenyaman Madrid dan Barcelona.

Hal itu justru tidak terasa membuat banyak tim Spanyol lain mengalami kenaikan level kualitas. Bersaing dengan dua tim yang “terbaik dunia” di liga, membuat mereka mau tidak mau harus terus meningkat secara kualitas jika tidak ingin hanya menjadi penonton di liga. Dampaknya begitu terasa, meski di liga hanya Atletico yang mampu juara selain Madrid-Barca dalam kurum 10 tahun ini dan itupun hanya sekali (musim 2013-2014). Tetapi peningkatan level tim Spanyol diluar Madrid-Barca terlihat ketika beraksi di kompetisi Eropa beberapa tahun terakhir.

Atletico bisa muncul dua kali di final Liga Champions dalam tiga tahun terkahir, tentu ini pencapaian luar biasa bagi klub seperti Atletico. Terkurung dalam bayang-bayang El Clasico di La Liga, tak membuat nyali Atleti di Liga Champions ikut menciut. Sevilla juga begitu, meski jarang finis di peringkat empat besar (zona Liga Champions) dalam 10 tahun terakhir, klub Andalusia tersebut sudah menjadi raja Liga Eropa selama tiga musim ini berturut-turut, rekor!

Setidaknya dalam lima musim terakhir, hampir selalu ada wakil Spanyol di semifinal kejuaraan Eropa bahkan hingga ke final, baik itu Liga Champions atau Liga Eropa. Tren ini menjadi bukti, klub dari La Liga memang lebih bagus daripada kompetisi negara lain, bahkan lebih baik dari Premier League yang disebut-sebut sebagai liga dengan klub-klub terbaik di dunia.

Sudah terbukti bahwa klub asal Spanyol paling superior jika bermain di pentas Eropa dan disadari atau tidak kualitas mereka terkerek naik karena mau tidak mau dengan penuh tenaga harus mengimbangi kualitas Madrid-Barca, yang memang tiada tandingnya di liga, jadi ketika klub Spanyol tersebut bertemu klub negara lain yang bahkan secara reputasi lebih besar, mereka mampu mengimbangi dan bahkan mengalahkan.

Musim lalu contohnya, Atletico mampu mengalahkan Munchen yang notabene disebut sudah satu level dengan Madrid-Barca, sedangkan Sevilla mengubur impian Liverpool di Liga Eropa, padahal reputasi Liverpool jauh lebih diatas dari Sevilla.

Efek persaingan di liga dengan Madrid-Barca terbukti berdampak signifikan bagi klub Spanyol lain, meski mereka babak belur di liga ternyata ketika bertanding di Eropa, kualitas dan mentalitas mereka mampu menandingi dan bahkan mengalahkan tim-tim kuat di Eropa karena “sudah terbiasa” berjibaku melawan dua tim terbaik dunia di liga sendiri.

Bahkan efek dua klub ini benar-benar meresap di Spanyol, jika ada klub mempunyai nama “real” dan atau mempunyai lambang mahkota di logo-nya, dapat dipastikan klub itu adalah klub pendukung kerajaan seperti Real Madrid. Jika ada klub berlogo “belang-belang” maka itu adalah klub yang berideologi pada kemerdekaan suku-suku dari kerajaan, klub dari Basque, Valencia, dan paling vokal dalam hal ini tentu klub asal Catalan paling sukses dekade ini, Barcelona.

Kembali ke persaingan juara, keberadaan Madrid-Barca membuat La Liga terasa lumayan membosankan. Namun hal ini dapat dimaklumi karena kesenjangan tersebut bukan karena blunder, inkonsistensi atau atau kemalasan klub lain berbenah, hal ini lebih karena perbedaan kualitas yang terlalu jauh antara Madrid-Barca dengan klub Spanyol lain.

Selain mempunyai tradisi kuat, pendapatan kedua klub tersebut juga sangat tinggi dibandingkan klub lain, maka dari tahun ke tahun makin kuat sajalah materi pemain Madrid-Barca karena kekuatan ekonomi duo ini tidak tertandingi klub Spanyol lain.

Setiap musim yang muncul dalam prediksi berbagai media adalah siapa yang akan juara, Madrid atau Barca? Klub lain seperti hanya ditakdirkan maksimal hanya untuk merebut jatah tiket ke Eropa dan tidak untuk juara liga, paling hanya Atletico yang punya potensi mengejutkan, namun kekuatan mereka sering digerus, karena seringnya Atletico tergoda menjual pemain bintangnya.

Musim ini juga tidak banyak berubah, Madrid-Barca masih terlalu kuat bagi klub lain, hal itu dapat dilihat dari Atlas-Bajas (lalu lintas transfer pemain) musim panas ini. Barcelona sangat jor-joran membelanjakan uang-nya, kedatangan Paco Alcacer, Andre Gomes, Denis Suarez, Lucas Digne, Samuel Umtiti, dan Jasper Cillessen menghabiskan lebih dari 100 juta euro.

Yang menjadi pertanyaan, tetaspi apakah terlalu mahal untuk hanya sekedar dijadikan pelapis bagi pemain inti? Alcacer bermain ketika salah satu dari trio MSN tidak bermain, Denis Suarez dan Gomes akan bermain ketika Iniesta atau Rakitic tidak dapat merumput dan juga masih ada Arda Turan yang bisa menjadi pelapis MSN dan Iniesta-Rakitic, Digne sebagai pelapis Jordi Alba, Umtiti menjadi pelapis duet bek tengah Mascherano-Pique dan Cillessen pilihan nomor dua dibawah mistar setelah Marc-Andre Ter Stegen. Memang mahal bagi pemain yang diproyeksikan sebagai pelapis tim utama, namun  ini menunjukkan bahwa Barca ingin mempunyai skuad yang dalam dengan materi tidak terlalu jauh jarak kualitasnya antara pemain inti dan cadangan.

Madrid musim ini tidak seperti biasa, uang yang mereka keluarkan sangat sedikit, 30 juta euro saja. Ada apa dengan Madrid? Padahal mereka biasanya boros dalam bursa transfer, tetapi musim ini mereka terhitung irit sekali. Uang 30 juta euro praktis sekali habis digunakan untuk mengaktifkan klausul pembelian mantan alumni cantera Madrid yang dijual ke Juventus dua tahun lalu, Alvaro Morata. Transfer lain adalah Marco Asensio, pemain muda yang musim lalu dipinjamkan ke Espanyol, sebelumnya dia dibeli dari Mallorca pada 2014.

Apakah gejala aneh Madrid di bursa transfer mungkin terkait dengan embargo transfer yang menghukum mereka? Namun itu sebenarnya bukan alasan, karena musim panas ini hukuman tersebut belum dilaksanakan, dan efektif baru akan terjadi pada dua periode transfer mendatang, seharusnya musim panas ini Madrid masih bisa belanja banyak, namun ternyata tidak.

Walau tanpa banyak pemain baru, kekuatan Madrid masih tetap besar, trio BBC masih dalam usia emas, Modric, Kroos, dan Ramos juga masih menampilkan performa terbaik, tambahan pemain muda macam Morata dan Asensio akan memperdalam kekuatan tim.

Klub Spanyol lain juga ikut memperkuat tim masing-masing, Atletico sibuk dalam hal ini. Kevin Gameiro, Nico Gaitan dan Sime Vrsaljko menjadi transfer mahal ke Vicente Calderon, Villareal membeli mantan wonderkid Alexandre Pato, dua pemain muda potensial Italia; Roberto Soriano dan Nicola Sansone akan menjajal petualangan baru di El Madrigal.

Sevilla yang meski kehilangan banyak pemain penting, melalui kecermatan direktur olahraga Monchi, bisa menghasilkan transfer bagus untuk dimaksimalkan pelatih baru, Jorge Sampaoli. Franco Vazquez, Luciano Vietto, Pablo Sarabia, Paulo Ganso, Wissam Ben Yadder, Hiroshi Kiyotake, Samir Nasri, dan Salvatore Sirigu menjadi beberapa transfer brilian Sevilla musim ini.

Valencia yang terpuruk musim lalu mencoba kembali bangkit dengan meminjam Eliaquim Mangala, Mario Suarez, Ezequiel Garay, dan Munir El Haddadi, tak lupa mereka juga telah meyakinkan deputi Cristiano Ronaldo di tim nasional Portugal, Luis Carlos Almeida da Cunha “Nani” untuk bergabung musim ini.

Klub kecil juga ikut bergeliat, seperti dua nama besar seperti Giuseppe Rossi dan Kevin-Prince Boateng yang mau bermain di Spanyol. Rossi kembali ke La Liga dengan menerima tawaran dari Celta Vigo, sementara Boateng memiliki destinasi karir baru di klub asal kepulauan Canaria, UD Las Palmas. Semakin gemerlap La Liga musim ini, ya setidaknya dari dimensi transfer pemain menunjukkan hal tersebut.

Tetapi jika berbicara juara liga, jangan jauh-jauh dari Madrid-Barca, namun patut ditunggu apakah ada kejutan musim ini? Semoga saja ada, Atletico atau mungkin klub lain, siapa tahu hal itu benar-benar terjadi diakhir musim nanti, hanya keajaiban yang akan membantu itu terwujud.

Solo Run Zebra

      Serie A, kompetisi sepakbola tertinggi di Italia ini masih seperti dulu saja rasanya, masih tetap hitam putih jadi topik utama, ya siapa lagi kalau bukan Juventus. Sudah lima musim Juventus selalu menjadi scudetti, dan tim lain seperti Roma, Napoli, Milan dan Inter seakan merelakan diri hanya menjadi penonton dalam kompetisi ini, dengan mudahnya Juventus juara.

     Pertanyaanya apakah Serie A mengalami kemunduran? Jawabannya sudah pasti iya, saat ini pamor sepakbola Italia tengah menurun, beberapa faktor ikut berpengaruh seperti kriris ekonomi juga dijadikan kambing hitam atas keterpurukan Serie A belakangan ini.

    Namun menyalahkan faktor krisis ekonomi global apakah bijak? Ternyata bukan hanya itu, karena ada faktor lain yang jelas berdampak signifikan bagi Calcio, tidak lain adalah dari dalam diri mereka sendiri.

        Italia seperti menutup mata pada perkembangan zaman, mereka seakan masih terbuai romantisme masa lalu dimana mereka yang dulu adalah terbaik di dunia, Serie A memang berjaya pada era 90an hingga 2000an, namun saat ini jelas tidak mungkin.

     Jangankan bersaing dengan Premier League, bersaing dengan Liga Jerman saja kini tidak mampu, apa “penyakit” yang selama ini mendera Italia? Pertama adalah dari sisi manajemen klub, di Italia pada umumnya setiap klub tidak mempunyai stadion alias menyewa kepada pemerintah kota jika akan berlaga, dan hanya Juventus yang saat ini mempunyai stadion sendiri.

    Hal ini jelas berimbas pada pendapatan klub yang minim, dengan menyewa stadion maka pendapatan dari tiket penonton tidak sepenuhnya menjadi kas untuk klub, melainkan juga akan dibayarkan ke pemilik stadion sehingga keuangan klub tidak sebanyak yang dibayangkan.

       Dengan hanya Juventus, Udinese dan Sassuolo yang mempunyai stadion sendiri, maka wajar apabila Serie A selalu dikuasai Nyonya Tua tersebut karena sehatnya ekonomi mereka, sedangkan Sassuolo mulai berkembang secara positif dari klub kecil hingga menjadi lebih baik dari musim ke musim.

     Sekarang jika ditinjau dari sisi hiburan, permainan tim-tim di Italia memang bisa dikatakan “membosankan” dan tidak menghibur, karena Italia sudah melekat dengan strategi defensif sejak dahulu kala, apalagi kalau bukan Cattenaccio.

    Kultur di Italia memang mengutamakan kemenangan, disana hasil lebih diutamakan daripada keindahan bermain bola, bertahan dan menggunakan serangan balik menjadi kebiasaan, tak heran kini apabila kita menonton Serie A, maka rasa kantuk akan menyergap kita dan mungkin hanya seorang tifosi sejati saja lah yang akan tetap betah menikmati kemonotonan permainan tim Italia.

   Namun karena tren taktik berubah, tim di Italia juga sudah mulai berani mencoba perubahan, tidak hanya klub besar saja, melainkan klub kecil pun berani tampil agresif dan menyerang, Sassuolo dibawah komando Eusebio Di Francesco bermain dengan pressing dan intensitas tinggi adalah contoh nyata. Setidaknya sudah ada beberapa tim yang memberikan warna berbeda di Serie A.

      Faktor lain adalah banjirnya pemain asing yang menumpuk di Italia, tidak hanya di Serie A, bahkan Serie B hingga Lega Pro juga mulai banyak stranieri (pemain asing) bertebaran. Memang boleh saja stranieri datang, namun hal ini justru akan mempersempit ruang bagi pemain muda Italia dan dampak tersebut akan terasa bagi tim nasional.

       Kalau stranieri yang datang adalah pemain berkualitas itu justru bagus untuk Serie A, tetapi kalau yang datang adalah pemain dengan kualitas pas-pasan untuk apa?. Saat ini kebiasaan mendatangkan stranieri tidak hanya dilakukan oleh tim besar, bahkan tim kecil seperti Udinese dan Bologna pun sudi memboyong banyak pemain asing.

     Dampak dari mudahnya pemain asing masuk Italia sudah terasa jelas didepan mata, pada akhirnya tim nasional Gli Azzurri kena getahnya, Euro 2016 di Perancis yang lalu merupakan cerminan, ketika skuat Italia disebut sebagai “skuat terburuk Italia sepanjang masa” dan hasilnya pun kita tahu Italia tersingkir di perempat final.

      Keputusan FIGC (asosiasi sepakbola Italia) menerapkan aturan home-grown players yang baru dilaksanakan musim ini dirasa terlambat, karena kebijakan ini baru akan berdampak setidaknya 5 tahun kemudian, maka tidak heran di Piala Dunia 2018 nanti Italia akan bernasib sama seperti yang selama ini terjadi.

    Untuk saat ini berjubelnya pemain asing berkualitas dibawah rata-rata jelas punya pengaruh negatif bagi kualitas sepakbola Italia secara keseluruhan, apalagi ini diperparah dengan tingkat kepercayaan pelatih Serie A untuk pemain lokal ternyata begitu rendah, sudah menjadi rahasia umum pemain akademi tidak dipersiapkan untuk berada tim utama tetapi dipinjamkan kesana kemari hingga potensi mereka meredup.

    Kepercayaan klub Italia pada telenta muda lokal mereka sendiri seakan menjadi petunjuk bahwa kompetisi di Italia tidak ramah bagi pemain muda, kepercayaan yang rendah dan infrastruktur yang juga tertinggal, sudah pasti wajar jika mulai dari Marcello Lippi, Cesare Prandelli hingga Antonio Conte mengeluh tentang minimnya stok pemain bagus di negeri mereka sendiri.

      Kembali ke persaingan merengkuh scudetto, saat ini Juventus masihlah kandidat terkuat untuk juara, apalagi mereka berhasil “menggembosi” kekuatan inti darilawan terkuat dengan membeli Miralem Pjanic dari Roma dan Gonzalo Higuan dari Napoli, transfer Higuan bahkan menjadi rekor termahal di Serie A (90 juta euro).

     Selain melemahkan rival domestik, si Nyonya Tua juga menambah kualitas dengan membeli pemain dari luar Serie-A. Daniel Alves yang sangat kaya pengalaman hebat bersama Barcelona berhasil didatangkan, walau sudah uzur namun kualitasnya masih bisa diandalkan, tambahan youngster Marko Pjaca, Mehdi Benatia (pinjam dari Bayern), dan Juan Cuadrado sebagai pinjaman dari Chelsea menjadikan skuad Juventus makin kuat.

    Sepertinya Juve ingin naik kelas dan bukan hanya jagoan kancah lokal, namun juga merajai Eropa seperti Real Madrid, Barcelona dan Bayern Munchen, skuad Juve pun bisa jadi tambah mantap saja apabila transfer Axel Witsel tidak gagal.

        Sementara Juve bertambah sangat kuat, tim lain seperti Napoli, Roma, Inter dan Milan meski ada peningkatan namun tidak secara drastis. Napoli mengkompensasi loncat-nya Higuain ke Turin dengan pengganti bernama Arkadiusz Milik, meski punya potensi untuk bersinar mantan pemain Ajax ini belum teruji benar sebagai bomber kelas atas dan belum sebanding dengan Higuain, ujung tombak akan diperebutkan antara Milik dan Manolo Gabbiadini.

      Untuk lini tengah dan belakang, I Partenopei menambah pilihan dengan mengkontrak dua pemain yang musim lalu bermain bagus di Empoli, Piotr Zielinski dan Lorenzo Tonelli, Napoli memang gemar mengambil pemain dari Empoli mengingat Maurizio Sarri punya koneksi di Empoli, karena dulu dia melatih disana.

      Sementara manuver AS Roma bahkan dikatakan lebih jelek dari Napoli, kehilangan Miralem Pjanic tidak diganti dengan pemain yang sepadan. Roma justru memilih untuk memaksimalkan Kevin Strootman dan Leandro Paredes.

    Strootman memang pemain bagus, namun cedera panjang menjadikan kualitasnya diragukan untuk berkembang, sementara Paredes masih pemain muda yang perlu pembuktian. Lini belakang terbilang lumayan, Maicon yang sudah uzur digantikan Bruno Peres yang merupakan salah satu bek kanan terbaik Serie A, kepergian Lucas Digne ke Barcelona diganti oleh Mario Rui, namun pemain ini langsung cedera 4 bulan setelah bergabung.

    Untuk melapis duet bek tengah Kostas Manolas dan Antonio Rudiger, direktur olahraga Roma, Walter Sabatini berhasil meminjam tiga pemain sekaligus; Federico Fazio (Tottenham), Juan Jesus (Inter) dan Thomas Vermaelen (Barcelona), tidak buruk dari segi kualitas namun masih kurang karena tiga pemain ini rentan cedera dan Wojciech Szcsezny berhasil dipermanenkan meski harus meminjamkan Lukasz Skorupski lagi, sementara lini depan tidak ada perubahan sama sekali.

      Milan lebih parah, meski kini ada pelatih muda potensial dalam diri Vincenzo Montella, tetapi transfer yang dilakukan Milan jauh dari kesan berkualitas atau bisa dikatakan medioker. Menuanya Alex, Gabriel Paletta, Phillippe Mexes, inkonsistensi Cristian Zapata dan masih hijaunya Rodrigo Ely, membuat Alessio Romagnoli menjadi satu-satunya bek tengah yang pantas bermain reguler.

       Mateo Musacchio menjadi incaran namun yang datang adalah Gustavo Gomez, dibeli dari Lanus dengan angka 8 juta euro dan meski sudah menjadi andalan tim nasional Paraguay, kualitasnya masih perlu pembuktian. Piotr Zielinski diinginkan Montella untuk memperkuat sektor tengah, tetapi yang datang justru dua pemain pinjaman Mario Pasalic (Chelsea), Matias Fernandez (Fiorentina) dan membeli Jose Sosa (Besiktas), jelas kurang untuk bersaing di zona Liga Champions.

     Untuk lini depan hanya ditambah stok peraih top skor Serie B musim lalu, Gianluca Lapadula, bahkan Milan hampir melego Carlos Bacca ke West Ham, entah apa yang dipikirkan Adriano Galliani. Daripada sia-sia membeli dan meminjam pemain berkualitas standar seperti itu, seharusnya Milan mempromosikan pemain Primavera, siapa tau muncul pemuda berbakat lagi seperti Donnarumma dan De Sciglio di musim ini.

        Inter terlihat lebih bersemangat musim ini, nama-nama besar berhasil dibujuk untuk menjadi bagian skuad di Giuseppe Meazza. Ever Banega yang menemukan kembali bentuk permainan terbaik di Sevilla bahkan berhasil direkrut bebas transfer, padahal pemain ini yang menjadi kunci permainan Sevilla kala meraih trofi Europa League di dua musim terkahir.

     Pemain sayap tim nasional Italia, Antonio Candreva berhasil didaratkan dari Lazio, Joao Mario yang bermain bagus di Euro 2016 bersama tim nasional Portugal juga dibeli seharga 40 juta euro dari Sporting Lisbon. Paling sensasional adalah kemenangan Inter atas Barcelona untuk mendapatkan wonderkid Brasil, Gabriel Barbosa atau biasa disebut Gabigol. Yang tidak ada perubahan adalah lini belakang, padahal sektor ini seharusnya butuh tenaga baru.

     Setelah Juventus, Inter paling giat mencari pemain bagus, akantetapi hal ini tidak dibarengi dengan harmonisasi manajemen dengan staf pelatih, Roberto Mancini pergi karena terlibat konflik dengan manajemen. Frank De Boer yang ditunjuk sebagai pengganti adalah orang yang tidak punya pengalaman di Italia, jangankan sebagai pelatih, sebagai pemain saja tidak sekalipun main negeri Pizza ini.

     Mercato musim panas ini sudah membuktikan, Juve masih yang terdepan meski kehilangan Paul Pogba, kekuatan Juve tidak berkurang dan justru bertambah besar.

     Banyak pihak memprediksi Juve akan mudah mempertahankan scudetto seperti musim-musim sebelumnya, yang menjadi perhatian publik Italia kali ini bukan siapa yang juara liga tetapi adalah seberapa jauh Juve melangkah di Liga Champions dan siapa yang akan berpotensi mengganggu perjalanan Juventus menuju tangga juara di musim.

    Ya, Serie A masih seperti ini saja, persaingan yang monoton, minim pemain muda, membanjirnya stranieri, dan rendahnya daya saing klub Italia di level Eropa, seakan menutupi keindahan calcio yang pernah berjaya di era 90an hingga awal milenium 2000an ini. Kuda Zebra masih akan berlari sendirian kali ini atau dalam istilah sepakbola disebut solo run. Serigala, Partenopei maupun si Ular hanya akan mampu menjadi pengganggu bagi Zebra, namun apapun itu Liga Italia tetaplah kompetisi yang sangat ingin dinikmati oleh para tifosi setia, Forza Ragazzi.

Selamat Datang di Premier League

        English Premier League adalah liga yang paling dinantikan di dunia, liga tertinggi dalam kasta sepakbola Inggris ini menjadi atensi utama penikmat sepakbola dimanapun. Gegap gempita Liga Inggris selalu menarik untuk disaksikan, mulai dari banyaknya pemain bintang dari berbagai penjuru dunia, kompetisi yang ketat dan sulit diprediksi, hingga manajemen liga yang profesional, semua faktor itu menjadikan Liga Inggris yang paling “sexy” dibandingkan liga-liga lain di Eropa.

      Musim ini pun masih tetap seperti itu, dan bahkan bisa dikatakan liga ini semakin menarik untuk dinikmati perjalanannya. Tidak hanya pemain-pemain bintang dari luar Inggris yang datang, beberapa manajer terbaik dunia juga menjadikan Liga Inggris sebagai ajang pembuktian diri.

        Dari level pemain, rekor transfer termahal dunia baru saja dipecahkan oleh Manchester United dengan menggelontorkan 89 juta poundsterling untuk membawa pulang anak yang mereka buang 4 tahun lalu, Paul Pogba. United juga mendatangkan bomber kelas wahid bernama Zlatan Ibrahimovic, meski sudah 34 tahun namun ketajaman dan reputasi Zlatan masih hebat.

      Pogba dan Ibra dilengkapi oleh rekrutan bagus lain seperti Heinrikh Mkhitaryan dan Eric Bailly. Tetangga berisik United, Manchester City juga tidak kalah banyak menghabiskan uang, 47 juta poundsterling menjadikan John Stones sebagai bek termahal dunia ketika pindah dari Goodison Park, markas Everton menuju Etihad Stadium, adapula Leroy Sane, Nolito, Ilkay Gundogan dan Claudio Bravo yang akan menyingkirkan Joe Hart sebagai kiper utama The Citizens.

      Klub lain juga tidak ketinggalan dalam membeli pemain bagus, Chelsea mentransfer striker Marseille yaitu Michy Batshuayi seharga 40 juta euro, N’golo Kante 35 juta euro dari Leicester City dan Arsenal memboyong Granit Xhaka dengan tebusan 30 juta pounds dari Borussia Moenchengladbach. Tottenham mencoba menambah daya serang dengan mendatangkan top skor Eredivisie musim lalu, Vincent Janssen (18 juta euro) dan Victor Wanyama dihargai 10 juta euro dari Southampton.

     Liverpool juga tidak lupa mewujudkan keinginan Jurgen Klopp membangun skuat dari awal musim dengan mengangkut Sadio Mane sebesar 35 juta euro, sementara itu juara bertahan Leicester City menambal kepergian Kante dengan Nampalys Mendy (13 juta pounds) dari Nice serta juga menambah pilihan penyerang untuk Ranieri dengan membayar 18 juta euro ke CSKA Moskow demi Ahmed Musa.

     Tim-tim lain juga tidak kalah garangnya dalam bursa trasfer pemain, West Ham meminjam Simone Zaza dan 20 juta pounds untuk Andre Ayew (rekor transfer The Hammers) dan banyak merekrut pemain baru, Everton menggunakan uang hasil penjualan Stones untuk mengamankan servis Yannick Bolasie dari Crystal Palace (25 juta pounds).

    Southampton yang kehilangan Mane dan Wanyama menggantikan mereka dengan Nathan Redmond (10 juta pounds) dan Pierre-Emile Hojbjerg (13 juta pounds). Bahkan klub sekecil Burnley memecahkan rekor transfer klub ketika mengambil kapten Anderlecht, Steven Defour dengan uang 8 juta poundsterling, kebetulan Defour yang memang ingin pindah karena alasan kenyamanan. Betapa banyaknya uang yang dimilik klub-klub liga Inggris ini adalah juga imbas dari pengelolaan liga yang profesional dan hak siar yang merata bagi seluruh tim.

       Yang juga menjadi perhatian khalayak luas adalah keberadaan manajer-manajer hebat di Premier League musim ini. Jose Mourinho yang musim lalu mengalami masa-masa terburuknya di Inggris bersama Chelsea telah resmi menjadikan Manchester United sebagai klub baru yang dia latih musim ini, reputasi Mourinho tentu akan membuat United kembali disegani di Inggris.

     Tak kalah dengan saudara tua-nya, Manchester City juga mendatangkan pelatih dengan reputasi yang jelas cemerlang, Pep Guardiola. Kehadiran dua pelatih ini sedikit banyak akan menghadirkan rivalitas panas dalam derbi Manchester, apalagi dulu mereka terlibat perseteruan bentrok antar dua klub terbaik sejagad raya Madrid vs Barcelona, El Clasico. Selain mereka berdua, Liga Inggris juga disinggahi mantan pelatih Italia, Antonio Conte.

      Orang paling ekspresif dipinggir lapangan, passion Conte ketika memberi instruksi untuk pemain sangat menarik ditonton, mungkin dalam hal ini Conte lebih dari Jurgen Klopp dan bahkan hampir seperti Diego Simeone.

      Klub lain yang relatif lebih kecil juga ikut berbenah disektor manajerial, ada yang mengganti pelatih dari sesama klub di liga ada juga yang mengambil pelatih dari luar Inggris. Sunderland memanggil pulang orang tersial pasca Sir Alex Ferguson pensiun, David Moyes untuk memperbaiki reputasi yang dahulu hancur lebur di MU dan Real Sociedad, dan akan mengisi pos yang ditinggal Sam Alladyce karena jabatan di tim nasional.

     Sementara itu posisi Ronald Koeman yang pergi dari Southampton akan digantikan Claude Puel, pelatih berpaspor Perancis yang dulu pernah sukses dengan Lyon. Sementara Watford akan dikendalikan oleh Walter Mazzari yang berpengalaman menangani Napoli dan Inter, keberadaan Mazzari akan membuat 1/5 komposisi pelatih di Premier League berasal dari Italia dari keseluruhan 20 orang, mereka adalah Claudio Ranieri, Antonio Conte, Francesco Guidolin dan Walter Mazzari itu sendiri.

    Kedatangan Mou, Pep, Conte dan beberapa nama lain akan menjadikan musim ini sebagai musim penuh pertarungan strategi. Karena mereka juga akan bertarung dengan pelatih yang sudah berada di Liga Inggris sejak musim lalu seperti Arsene Wenger, Mauricio Pochettino, Claudio Ranieri, Ronald Koeman, Alan Pardew dan lainnya.

       Musim yang sangat luar biasa bagi Liga Inggris, semakin banyak pemain bintang pindah ke negeri Ratu Elizabeth, banyaknya pelatih populer, ditambah lagi gaya permainan klub-klub di Inggris yang terkenal doyan menggeber serangan menjadikan liga ini paling menarik dibanding liga lain di Eropa.

    Selain karena permainan tim yang menghibur, atmosfer stadion yang luar biasa, pemain bintang dan pelatih dengan reputasi kelas atas, persaingan menjadi juara, tim mana yang akan masuk zona Eropa dan siapa yang akan terdegradasi juga sulit ditebak. Dalam empat tahun terakhir ini saja juara liga selalu berbeda, bergiliran Manchester United, City, Chelsea dan musim lalu secara mengejutkan tim medioker, Leicester City mampu menjungkalkan prediksi semua pihak dengan menjadi kampiun, Wow!.

    Inilah yang membuat Premier League sulit diprediksi, dilain sisi bahkan tim yang terhitung besar seperti Aston Villa dan Newcastle malah terdegradasi ke Championship Division, benar-benar mengejutkan bukan?.

      Untuk saat ini Inggris boleh berbangga dengan kompetisi sepakbola tertinggi mereka menjadi yang terbaik di dunia, hal-hal menarik diatas mampu membuat Premier League diminati seluruh di dunia. Apalagi ditambah fakta bahwa aturan home-grown players yang mengharuskan klub memberikan ruang bagi pemain akademi ternyata mampu menghasilkan pemain berkualitas tanpa mengecilkan rasio kedatangan pemain asing ke Inggris.

     Harry Kane, Delle Ali, Danny Rose, Luke Shaw, Marcus Rashford, Raheem Sterling, John Stones, Kyle Walker, Nathaniel Clyne dan masih banyak lagi pemain muda Inggris yang saat ini memperkuat tim besar, pada akhirnya kesempatan pemain lokal pun tidak tergerus dengan serbuan bintang-bintang asing yang menjadi magnet utama di liga.

    Mungkin saat ini kekurangan yang ada di Premier League hanya ketersediaan pelatih lokal muda yang berbakat, hal itulah yang sangat sulit diwujudkan dan mungkin inilah yang selalu berdampak negatif bagi tim nasional Inggris, karena keterbatasan stok pelatih muda lokal berkualitas yang punya pengalaman sebagai pelatih utama di Premier League tentu akan mempersulit regenerasi pelatih di negera yang mengklaim sebagai “rumah-nya sepakbola” ini.

       Dengan segala nilai plus yang ada, sangat layak untuk disaksikan keseruan apa saja yang akan hadir disepanjang musim ini, apakah tim besar seperti MU, City dan Chelsea akan juara atau justru kembali muncul kejutan seperti Leicester?

    Intrik dan gosip apa saja yang akan terjadi di dalam dan luar lapangan, lalu bagaimana pula psy-war yang akan saling terlontar diantara keberadaan Mourinho, Pep, Wenger, Conte dan Klopp? Siapa pemain yang akan bersinar, apakah Zlatan, Aguero, Mahrez atau sepasang kaki termahal atas nama Paul Labile Pogba? Yang pasti luangkan lah waktu anda disetiap akhir pekan untuk ini dan nikmatilah; this is it, Welcome to Premier League!!.

Brexit Jilid 2.0

Brexit adalah istilah yang populer di Inggris dan Britania Raya untuk penamaan dari pihak yang ingin agar seluruh Britania Raya dan khususnya Inggris keluar dari Uni Eropa, penamaan ini “Brexit” adalah singkatan dari Britain Exit.

Singkatan ini berdengung di seantero Britania Raya manakala adanya peristiwa politik kenegaraan, yaitu referendum masyarakat Britania Raya untuk menentukan apakah Britania Raya tetap menjadi bagian dari Uni Eropa atau keluar pada tanggal 23 Juni 2016 ini.

Hasilnya kita ketahui bersama, Brexit menang dan mengharuskan Britania Raya menyudahi hubungannya dan resmi keluar dari Uni Eropa. Mengejutkan sekali hasil yang didapat dalam referendum ini, dan menurut berbagai analisis dari pengamat politik internasional, Brexit bisa menimbulkan efek domino bagi negara-negara lain yang tergabung di Uni Eropa.

Namun tidak hanya sampai disitu, diluar urusan politik pun Britania Raya juga sedang dikejutkan dengan “Brexit Jilid 2” yang tak lain aktornya adalah tim nasional sepakbola Inggris.

Inggris sebagai pemimpin Britania Raya adalah negara paling dominan dalam persemakmuran Britania Raya, begitu juga dalam hal sepakbola Inggris sudah lama dikenal sebagai yang terbaik diantara negara-negara lain di Britania Raya.

Namun peristiwa tak menyenangkan terjadi dan kali ini ketika sepakbola Inggris sedang berjuang di Euro 2016 di Perancis. Mereka untuk kedua kalinya “keluar” dari Eropa, ya mereka  gugur di fase 16 besar dan gagal mencapai target awal yakni menjadi juara Euro. Mereka terdepak setelah secara mengejutkan dikalahkan oleh tim non-unggulan, Islandia dengan skor 1-2.

Padahal materi pemain antara Inggris vs Islandia jelas seperti langit dan bumi, Inggris diperkuat oleh pemain-pemain kelas atas di Premier League sedangkan Islandia hanya diperkuat oleh pemain biasa saja. Tersingkirnya Inggris dari Euro 2016 memunculkan kredo baru “Brexit Jilid 2” bagi kalangan pemerhati sepakbola diseluruh dunia, karena untuk kedua kalinya Inggris keluar dari zona Eropa (dalam hal ini adalah turnamen sepakbola antar negara se-Eropa atau Euro).

Pasti kekalahan ini membuat seluruh warga Inggris kecewa berat, apalagi tim nasional negara tetangga yang berada dibawah persemakmuran Britania, Wales berhasil melaju hingga perempat final dan sudah pasti hal ini membuat luka hati orang Inggris semakin dalam ketika persaingan antar dua tim ini sedang panas-panasnya namun justru harus melihat Inggris tersingkir dan Wales lebih hebat dari mereka.

Hasil ini semakin menegaskan bahwa sepakbola Inggris hanya bagus di level klub saja, prestasi tim nasional-nya kita tahu sendiri hanya pernah sekali juara turnamen besar, Piala Dunia 1966 dan itupun diselenggarakan di negara mereka sendiri.

Sebenarnya ada apa dengan Inggris? Padahal dari segi materi pemain mereka salah satu yang terbaik di dunia tetapi mengapa hasilnya selalu saja sama; mengecewakan. Kompetisi sepakbola mereka adalah yang terbaik di dunia, English Premier League menjadi pusat perhatian dunia dengan keberadaan pemain-pemain hebat-nya, tetapi mengapa prestasi tim nasional Inggris selalu saja begini? Jangankan menjuarai turnamen besar, lolos semifinal saja sepertinya sulit sekali mereka capai.

Banyak pengamat sepakbola mengatakan, problem tim nasional Inggris ada banyak, yang pertama adalah kurangnya pelatih berkualitas asli Inggris, karena kebanyakan tim di Liga Inggris juga menggunakan jasa pelatih asing.

Kedua karena banyaknya pemain asing di Liga sehingga menghambat perkembangan pemain muda lokal, memang sudah menjadi fakta sangat banyak sekali pemain asing di Liga Inggris.

Ketiga,ekspektasi yang sangat tinggi untuk selalu berprestasi di turnamen besar, memang demikian mengingat mereka bermaterikan pemain-pemain bintang, banyak yang berekspektasi seperti itu yang justru menjadi beban berat tersendiri tim nasional Inggris untuk menyuguhkan yang terbaik di panggung internasional.

Terakhir yang keempat adalah sentimen antar klub di Inggris yang berakibat pada ketidakkompakan pemain-pemainnya saat bermain bersama di tim nasional.

Dari segi pelatih memang sangat kurang, untuk mencari pelatih asli Inggris yang punya kualitas apalagi masih muda sangatlah sulit. Pengganti Roy Hodgson yang mundur pasca kalah dari Islandia pun sepertinya sudah tua, Alan Pardew.

Namun pengalaman melatihnya sangat minim berada di tim besar, mungkin akan lebih baik Harry Redknapp saja yang menjadi pengganti Hodgson meski juga sama tua dan berpengalaman, namun dia pernah berada di tim besar seperti Tottenham dan membawa mereka mentas di Liga Champions.

Kurangnya pelatih berkualitas sebenarnya pernah disiasati FA dengan mengontrak pelatih asing hebat seperti Sven-Goran Eriksson (Swedia) dan Fabio Capello (Italia), namun hasilnya sama saja.

Kalau melihat pemain asing sebagai faktor penghalang kemunculan pemain lokal berkualitas yang membuat tim nasional sulit berprestasi juga kurang tepat, FA telah mengakali banyaknya pemain asing dengan peraturan home-grown players yang membuat pemain lokal tetap punya tempat di Liga Inggris.

Ekspektasi yang besar sudah pasti menjadi beban bagi Inggris, namun tidak hanya Inggris saja yang punya beban itu. Negara lain yang punya tradisi hebat dalam sepakbola juga punya ekspektasi yang tidak kalah besarnya seperti; tim nasional Spanyol, Italia, Brasil, Jerman atau Argentina juga merasakan hal yang sama dengan Inggris ketika bermain di turnamen besar internasional, mereka dibebani untuk memperoleh prestasi setinggi-tingginya.

Faktor terakhir adalah sentimen antar klub, hal ini terjadi karena atmosfer sepakbola Inggris yang begitu bergelora. Hampir setiap kota meski itu adalah kota kecil pasti mempunyai klub sepakbola dan bahkan kadang lebih dari satu.

Atmosfer sepakbola disana begitu besar, no football no party, seluruh wilayah mempunyai tim andalan masing-masing dan tak heran ini membuat animo rakyat Inggris terhadap sepakbola begitu besar, namun dari sini muncul masalah yang berdampak besar skuad The Three Lions.

Orang Inggris fanatik terhadap sepakbola dan otomatis terhadap masing-masing klub kesukaannya, selain kepada tim nasional juga dan hal ini rupanya juga terjadi pada pemain-pemain di klub-klub tersebut, fanatisme mereka kepada klub sangat kuat.

Dengan atmosfer dan animo sepakbola yang tinggi membuat fanatisme terhadap klub tumbuh tidak hanya di lingkungan suporter saja tetapi juga merembet ke pemain dan memunculkan sentimen antar klub.

Maka tak heran di di Liga Inggris sering terjadi psy-war antar pemain, dan friksi di lapangan juga sering terjadi, biasanya hal ini muncul ketika pertandingan derbi satu kota atau antar klub yang mempunyai tradisi kuat dan saling bermusuhan.

Mantan pemain Manchester United dan tim nasional Inggris, Paul Scholes membenarkan bahwa ketidakmampuan Inggris berprestasi di level tim intenasional adalah salah satunya karena sentimen antar klub yang begitu kuat diantara pemain-pemain di tim nasional Inggris.

Dia menggambarkan seperti ini “ketika berada di tim nasional pasti semua pemain yang tergabung akan bekerja sama satu sama lain, namun sejatinya dalam hati tidak mungkin seorang Manchester mau bekerja sama dengan Scouse (Liverpool), begitu juga sebaliknya.

Hal ini juga berlaku bagi pemain-pemain lain dalam tim”. Terbongkar sudah rahasia kenapa Inggris selalu kandas dalam turnamen besar, tidak ada rasa persatuan antar pemain!.

Sentimen tersebut menjadi masalah akut bagi Inggris, mengingat pemain-pemain andalan mereka pasti mayoritas berada di klub besar yang sudah tentu saling menjadi rival. Jika sudah begini bagaimana solusinya? Mungkin kali ini, Inggris sebagai si “penemu sepakbola” harus belajar hal terkait sepakbola dari tempat lain untuk meredakan sentimentalitas antar pemain Inggris.

Mereka bisa belajar dari Spanyol, dulu disana Iker Casillas sebagai kapten tim nasional berani mengambil sikap untuk menjalin hubungan dekat dengan Carles Puyol dan Xavi Hernandez. Casillas melakukan itu guna meredakan sentimen el clasiso dan tidak membawa semua hal tentang itu ketika berada di tim nasional.

Hasilnya kita tahu, 2 gelar Piala Eropa dan satu Piala Dunia diraih Spanyol dalam rentang waktu 2008 hingga 2012. Sama seperti Inggris, pemain Spanyol juga sangat berkualitas namun tanpa adanya kompromi seperti itu rasanya sulit bagi mereka mampu meraih Piala Eropa dan Piala Dunia, karena sentimen antar pemain Spanyol juga sangat tinggi mengingat mayoritas diperkuat pemain Madrid dan Barcelona.

Melihat Inggris saat ini apakah mereka bisa mencontoh Spanyol? Sebenarnya bisa, apalagi Rooney sebagai kapten juga orang yang inklusif (bahkan dia berteman baik dengan Joe Hart, kiper City) dan terkesan mengesampingkan kepentingan klub demi tim nasional.

Namun kedepannya masih perlu pendekatan yang komprehensif dari sang skipper untuk menyatukan seluruh elemen dalam tim nasional Inggris, apalagi saat ini bukan hanya United dan City saja yang menyumbangkan pemain ke tim nasional, ada pula pemain dari Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham.

Untuk itu dibutuhkan keberanian dan kerendahan hati dari orang yang berpengaruh di ruang ganti (kapten) untuk menurunkan ego dan sentimen klub yang dibawa dan berusaha merangkul untuk dekat semua yang ada didalam tim.

Menurut hemat penulis, apa yang dilakukan Casillas juga harus ditiru Rooney atau kapten Inggris dimasa depan, karena ini lah salah satu cara jitu untuk menyatukan tim nasional; menjalin kedekatan dengan seluruh pemain meski mereka adalah rival di level klub.

Jika dalam hati sudah mau bersatu di tim nasional (meski saling bermusuhan di level klub), semua akan lebih mudah bagi Inggris, inilah cara yang harus dicoba ditengah kondisi atmosfer dan animo tinggi yang memang berujung pada sentimen antar klub. Segera mencoba Inggris, semoga beruntung di turnamen selanjutnya.

dailymail1-2 Iceland

Foto dari dailymail.co.uk

Tamparan untuk Brasil!

Maksud judul diatas bukanlah tamparan dalam arti sebenarnya atau perlakuan fisik seperti tamparan pada umumnya. Yang dimaksud penulis dengan “Tamparan untuk Brasil!” adalah wujud dari rasa kegelisahan, kekhawatiran dan sedikit emosi yang bercampur menjadi satu ketika melihat wajah persepakbolaan Brasil saat ini.

Tersingkirnya Brasil dari Copa America Centenario 2016 ini dengan tidak mampu lolos dari fase grup adalah titik kulminasi mengapa Brasil menjadi bahan untuk diulas kali ini. Brasil sekarang dalam kondisi krisis, Brasil sekarang bukanlah seperti yang dulu lagi.

Jika dulu dalam dunia sepakbola kita mengatakan “Brasil”, maka yang muncul dalam pikiran adalah nama besar para bintang, keindahan permainan, atau skill menawan pemainnya.

Melihat permainan Brasil ibarat seperti melihat orang sedang menari Samba di lapangan, tarian penuh keceriaan namun berwujud teknik olah bola indah di lapangan, wahhh pasti sangat enak ditonton.

Tetapi itu hanyalah masa lalu, sekarang Brasil tidak seperti itu lagi, keindahan permainan, skill hebat dan bahkan nama besar pemain bintang perlahan mulai hilang dari image Brasil saat ini, ada apa dengan negeri sepakbola ini? Mengapa ini bisa terjadi di negeri yang bahkan sepakbola disana dipuja-puja hampir seperti sebuah agama?

Memudarnya kehebatan sepakbola Brasil sangat terasa semenjak akhir tahun 2010-an, banyak faktor yang berpengaruh pada penurunan kualitas sepakbola Brasil dan tim nasional mereka pada khususnya.

Faktor pertama adalah mengenai ide permainan, Brasil dikenal karena filosofi Jogo Bonito atau yang berarti keindahan permainan, kegembiraan, kebebasan dan skill pemain.

Pola bermain ini sangat pas diterapkan, karena perlu kita ketahui pemain-pemain Brasil biasanya mempunyai teknik bagus dalam bermain bola, entah apapun posisi mereka, mulai dari penyerang, pemain tengah dan bahkan kiper sekalipun, jika dia itu adalah pemain yang berasal dari Brasil, pasti mempunyai kelebihan teknik tersendiri.

Deretan pemain depan dari berbagai generasi seperti Pele, Romario, Ronaldo, Rivaldo, dan saat ini Neymar; lalu gelandang hebat seperti Zico, Kaka, Ronaldinho; bek seperti Lucio, Cafu, Dani Alves, Marcelo, David Luiz; kiper seperti Taffarel, Dida, Julio Cesar hingga Rogerio Ceni yang jago tendangan bebas pun ada, betapa hebatnya pemain-pemain Brasil tersebut.

Juara Dunia lima kali (yang terbanyak di dunia) dan 8 juara Copa America direngkuh atas nama Brasil, betapa hebatnya sepakbola negeri yang terkenal dengan tari Samba-nya ini.

Dengan pemain-pemain hebat seperti itu wajar apabila Jogo Bonito dipilih menjadi gaya permainan Brasil, apalagi gaya permainan yang enak ditonton tersebut sesuai dengan kepribadian orang Brasil yang hangat, periang dan sangat bergairah terhadap sepakbola, sangat klop antara filososi permainan dan mentalitas kepribadian khas orang Brasil.

Suatu ketika, tim nasional Brasil datang ke Piala Dunia 2006 yang digelar di Jerman dengan status juara bertahan karena mereka yang juara di edisi sebelumnya pada 2002 di Korea-Jepang. Brasil 2006 diperkuat oleh pemain yang saat itu sedang hebat-hebatnya, mulai dari Ronaldo Lima, Adriano, Ronaldinho, Kaka, dan Robinho sehingga wajar mereka menjadi favorit utama untuk juara.

Dengan Jogo Bonito dan dilatih oleh pelatih kawakan, Carlos Albeto Parreira, mereka menatap turnamen terbesar dalam sepakbola tersebut dengan optimis, tetapi akhirnya apa daya mereka justru kalah dari Perancis di perempat final. Mereka kalah oleh gaya main Perancis yang tidak hanya mengandalkan skill pemain, tetapi juga kedisiplinan dalam bermain, seperti tim Eropa pada umumnya. Kontras dengan Brasil yang menyuguhkan kebebasan dalam permainan.

         Menyadari “kebebasan telah kalah dengan kedisplinan”, untuk menghadapi Copa America 2007 di Venezuela, Brasil menunjuk Carlos Dunga sebagai pelatih. Orang ini berbeda dari Carlos Parreira atau Scolari dalam hal gaya permainan, Dunga menyukai sepakbola disiplin ala Eropa, sepertinya CBF atau PSSI-nya Brasil menyadari betul bahwa sudah saatnya Brasil berevolusi dan mengikuti perkembangan sepakbola dunia.

Dunga akhirnya sukses dengan membawa Brasil juaramelalui permainan disiplin seperti gaya Eropa pada Copa America 2007, dan bahkan Brasil tidak segan bermain sangat hati-hati karena sering menggunakan serangan balik sebagai strategi utama, Brasil era Dunga terasa “sangat Eropa”.

Namun pemikiran ini justru berbuah menjadi blunder fatal bagi pesepakbolaan Brasil dan prestasi tim nasional mereka pada khusunya. Karena mereka melupakan jati diri mereka sendiri (Jogo Bonito, bermain dengan gairah, semangat, dan kebebasan) dan justru meniru gaya Eropa.

Hasilnya kita ketahui hingga gelaran Copa America terbaru ini mereka hanya mampu meraih tiga gelar, selain Copa America 2007, hanyalah Piala Konfederasi 2009 dan 2013. Dua piala ini tidak terlalu istimewa karena cuma merupakan test tournament sebelum Piala Dunia tahun berikutnya.

Selama dilatih Dunga dengan gaya Eropa-nya, permainan Brasil tidak enak dilihat dan monoton, padahal di Brazil pemain berteknik tinggi berjejal, namun itu disia-siakan Dunga. Contohnya jelas sekali dalam pemilihan pemain, pada Copa America 2007 dia meninggalkan Adriano, Ronaldinho, Ronaldo Lima dan bahkan Kaka.

Meski mampu menjadi juara dengan pemain medioker macam Vagner Love, Fred atau Elano, Dunga tetap mendapat kritik karena pemilihan pemain tersebut apalagi ditambah permainan Brasil yang statis. Pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, turnamen besar kedua Dunga pasca Copa America, lagi-lagi diapun membuat keputusan tidak populer dengan mengesampingkan duo pemain muda terbaik Brasil, Alexandre Pato dan Neymar.

Mengandalkan Luis Fabiano sebagai penyerang utama jelas tidaklah cukup, pemain yang saat itu bermain di Sevilla itu bukanlah bomber kelas atas dunia. Dengan permainan disiplin kaku dan serangan balik, Brasil pun tersingkir setelah kalah 1-2 dari Belanda di perempat final, palu pemecatan pun dilayangkan ke Dunga pasca kekalahan tersebut.

Setelah dalam rentang 2010-2014 permainan Brasil mulai terlihat kembali ke Jogo Bonito (era Mano Menezes dan Luis Scolari), Dunga datang lagi karena ketidakpuasan CBF akan jati diri sepakbola Brasil sendiri dan berusaha lagi dengan gaya Eropa yang dibawa Dunga.

Hasilnya justru semakin parah, selain keengganan Dunga memakai pemain bintang, pemain medioker yang dia bawa pun terbukti tidak pantas berada di tim utama Selecao. Nama-nama semacam Diego Tardelli, Everton Ribeiro, Elias, ataupun Jefferson pada Copa America 2015 dan Gabriel Barbosa, Lucas Lima, Alisson di Copa America 2016 tidak teruji di level atas dan wajar apabila Brasil gagal total di turnamen besar seperti Copa America.

Parahnya gaya disiplin ala Eropa dalam bermain sepertinya tidak hanya berjangkit di level tim nasional dan telah “menular” di Brasil, saat ini pun banyak klub lokal berusaha sekuat tenaga untuk membuat para pemainnya bermain dengan tingkat kedisiplinan seperti apa yang diterapkan di Eropa, disamping untuk memenuhi kriteria pemain yang akan dibeli oleh calon pembeli potensial yaitu klub Eropa itu sendiri.

Memang kedisiplinan bagus, karena mampu menjaga kesetabilan permainan akan tetapi hal ini justru malah mereduksi kebebasan pemain-pemain Brasil dalam berfantasi dengan tekniknya ketika sedang bermain.

Hal ini jelas mengurangi kekhasan pemain Brasil, yaitu teknik alami karena kebebasan dalam bermain yang selama ini melekat pada diri pemain-pemain dari Brasil jika klub disana secara terus-terusan menerapkan gaya Eropa dalam pembentukan gaya main para pemainnya.

Penurunan kualitas ini juga dipengaruhi oleh faktor dari diri pemain Brasil itu sendiri, banyak pemain Brasil jaman sekarang bermain hanya untuk mengejar uang saja, prestasi dan gelar juara bergengsi mulai dilupakan oleh mereka.

Sekarang tidak asing lagi kita temui pemain Brasil yang bahkan berlevel tim nasional utama bermain di liga kelas medioker seperti China ataupun Timur Tengah, mungkin ekonomi adalah alasan utama mereka namun sebenarnya hal ini bisa menurunkan kualitas tim nasional Brasil tersebut.

         Bayangkan saja untuk bersaing di turnamen sekelas Copa America, pemain yang dipanggil adalah pemain yang bermain di China dan Timur Tengah seperti Diego Tardelli dan Everton Ribeiro? Sudah tentu Brasil gagal total!.

Jangankan untuk bersaing dengan Argentina yang diperkuat Messi, Aguero, Higuain, dan Di Maria, Uruguay yang ditopang Luis Suarez, Edinson Cavani, Diego Godin atau Chile dengan Alexis Sanchez dan Vidal-nya yang menjadi andalan klub-klub besar Eropa yang sudah pasti bersaing di level tertinggi sepakbola.

Bersaing dengan tim seperti Paraguay atau Mexico saja belum tentu mampu jika pemain yang diandalkan adalah pemain medioker tersebut yang hanya beredar di kompetisi rendah seperti China dan Timur Tengah.

Jurang kualitas dan mentalitas yang terlalu jauh antara pemain tim nasional Brasil (sebagian tidak bermain di kompetisi level tertinggi) dengan pemain negara lain yang bertebaran sebagai andalan di berbagai klub besar dunia tentu berpengaruh dalam hasil yang dicapai di tim nasional, dan sudah terbukti saat ini.

Brasil pun saat ini kering pemain bertalenta hebat yang mampu dijadikan andalan, setelah kemunculan Neymar mungkin tidak ada lagi pemain yang benar-benar bisa dikategorikan dan berpotensi untuk menjadi pemain world class.

Meski banyak pemain muda Brasil yang punya “potensi” seperti Neymar, namun sepertinya hal itu akan susah digapai karena tren pemain Brasil saat ini yang justru lebih mengincar uang daripada bermain di klub besar dan merasakan persaingan tertinggi di level klub.

Apalagi di Amerika Selatan, klub-klub Brasil juga dikenal paling gemar membeli pemain dari negara lain seperti Argentina, Uruguay, Chile, Colombia dan negara Latin lain. Sehingga kesempatan pemain muda Brasil pun perlahan bisa berkurang untuk bermain di negeri sendiri, Neymar baru pun sudah pasti akan semakin susah ditemukan dimasa yang akan datang jika kondisi sepakbola Brasil seperti ini terus tanpa ada perubahan.

Saatnya Brasil berbenah, hasil di Piala Dunia 2010 dan 2014 serta Copa America 2011, 2015 dan 2016 hendaknya menjadi “tamparan” keras kepada seluruh elemen di pesepakbolaan Brasil bahwa dengan menghilangkan ciri khas mereka sendiri justru malah menghasilkan malapetaka untuk diri mereka sendiri.

Ingat, tim seperti Barcelona atau tim nasional Spanyol tetap mampu berprestasi karena satu hal; “percaya dan tetap pada ciri khas permainan sendiri entah apapun yang tejadi, tiki-taka”.

golazo dailymail.co.uk
Brasil amburadul di Copa America Centenario 2016.

Pele pun berpendapat sembari dengan perasaan yang iba, kesal dan kecewa ketika ditanya bahwa sepakbola Brasil sedang mengalami krisis identitas.

Sang legenda pun menyerukan perubahan besar dan ingin agar Brasil kembali ke Jogo Bonito karena tidak tega melihat kondisi sepakbola Brasil yang tengah terpuruk beberapa tahun ini, padahal semua orang di dunia tahu Brasil adalah negaranya sepakbola yang telah melegenda dari generasi ke generasi.

Berbenahlah Brasil, sampai kapan kamu begini? Apakah kamu harus menunggu tragedi Maracanazo atau Mineirazo terulang lagi untuk menyadarkanmu??

Foto: Dailymail.co.uk

Image

Apakah Benar Belgia Pantas?

Juni 2009 mereka masih terpaku di posisi 71, akan tetapi saat ini Belgia secara mengejutkan menjadi tim teratas dalam ranking tim nasional yang dirilis FIFA berdasarkan tanggal 5 november 2015.

Pencapaian ini berkat performa stabil mereka selama menjalani kualifikasi Euro 2016, ditambah selama Piala Dunia 2014 mereka bermain baik.

Peringkat pertama dalam rangking FIFA adalah sejarah tersendiri yang sangat hebat bagi Belgia, apalagi mereka juga belum pernah memenangi gelar internasional, prestasi mereka pun belum secemerlang negeri sepakbola lain seperti Inggris, Argentina, Spanyol, Perancis atau Brazil. Jadi naiknya Belgia ke posisi puncak daftar rangking FIFA adalah suatu hal yang sangat menyita perhatian dunia sepakbola saat ini.

Jika ditelisik secara prestasi, naiknya Belgia memang bisa dipertanyakan, biasanya tim yang menjadi pemuncak daftar adalah tim yang baru saja menjuarai Piala Dunia atau Piala Eropa, masuk ke babak final, atau minimal stabil meraih prestasi tinggi di tiap kejuaraan internasional yang diikuti.

Meski belum pernah menjadi juara atau prestasi besar di ajang internasional akan tetapi secara kestabilan performa tim, Belgia memang sedang on form. Setelah sukses meraih posisi di perempat final Piala Dunia, keberhasilan mereka lolos ke Euro 2016 juga menjadi faktor yang membuat kenapa Belgia bisa naik ke peringkat satu tersebut.

Apalagi tim nasional Belgia memang sedang dalam “masa keemasan” dengan dihuni oleh pemain-pemain hebat bertalenta yang bermain di berbagai klub besar di Eropa.

Dulu kita memandang tim nasional Belgia hanya dengan sebelah mata, mereka bukanlah tim yang menjanjikan apalaga dikategorikan sebagai tim kuat di daratan Eropa. Pemain yang tenar pun sangat jarang, paling hanya duo Emile dan Mbo Mpenza (era 2000’an) dan itupun tidak terlalu cemerlang.

Bahkan sejak 2004 hingga 2012 mereka tidak pernah lolos ke Piala Eropa ataupun Piala Dunia, dan barulah pada 2014 mereka lolos ke ajang besar seperti Piala Dunia dan sukses mencapai babak perempat final.

Dari segi kualitas pemain, mereka jelas kalah dengan negara tetangga Belanda yang di setiap ajang internasional masuk dalam bursa kandidat juara. Namun itu dulu, saat ini Belgia lebih superior dibanding Belanda dari segi kualitas pemain dan itupun terbukti dengan lolosnya Belgia ke Euro 2016 Perancis, sedangkan Belanda harus terima nasib menonton tetangganya yang dulu inferior, namun sekarang lebih hebat dari mereka sendiri.

         Mulai dari sektor paling belakang, penjaga gawang Belgia saat ini dikuasai oleh Thibaut Courtois. Pemain yang menjadi andalan Chelsea ini memang masih muda akan tetapi kaya pengalaman. Dia pernah menjuarai Liga Spanyol, Copa del Rey, Liga Inggris dan bahkan pernah bermain di final Liga Champions.

Tentu dia adalah aset berharga bagi masa depan Chelsea dan Belgia. Courtois mendapat pesaing terkuat dalam diri Simon Mignolet, kiper nomor satu Liverpool. Dia juga bermain baik untuk The Kop, dan akan membuat Courtois selalu waspada dan menjaga konsistensi permainan demi tetap menjadi andalan di sektor vital ini.

Belum lagi masih ada nama kiper veteran Jean-Francois Gillet (dari Machelen) yang pernah malang melintang di Serie A dan terhitung masih mumpuni meski usianya sudah tidak lagi muda.

         Untuk lini belakang, Belgia dihuni bermacam bek berkualitas. Bek tengah dihuni pemain yang sangat kokoh, yaitu Vincent Kompany. Kapten Manchester City sekaligus kapten tim Belgia adalah batu karang dilini belakang yang akan membuat pemain lawan susah menembus pertahanan Belgia.

Selain Kompany ada sosok duo Tottenham Hotspurs, Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld yang bermain baik disana. Selain itu ada mantan kapten Arsenal yang kini berseragam Barcelona, Thomas Vermaelen, kualitasnya masih ada meski sering cedera beberapa musim akhir ini.

Belum lagi ada nama pemain Dedryck Boyata mantan pemain Manchester City yang sekarang bermain di Glasgow Celtic dan pemain muda Jason Denayer, yang kini bermain di Galatasaray.

Untuk pos bek kanan ada Louis Pedro Cavanda meski hanya bermain di Trabzonspor, dia pernah menjadi andalan Lazio, ditambah Anthony Vanden Borre (Anderlecht) dan Thomas Meunier (Club Brugge), belum lagi Alderweireld juga bisa dimainkan sebagai bek kanan. Untuk posisi bek kiri ada nama pemain West Bromwich Albion, Sebastien Pocognoli dan adik Romelu Lukaku, Jordan Lukaku (Oostende). Untuk bek kiri juga bisa memakai Vermaelen, Alderwiereld dan Vertonghen di posisi ini.

Lini tengah Belgia lah yang menjadi kunci bagaimana mereka bermain baik, disini berjejal pemain berkualitas yang membuat Marc Wilmots tidak kesulitan menerapkan strateginya. Mulai dari gelandang bertahan, ada nama gelandang keturunan Indonesia, Radja Nainggolan.

Gelandang berstamina kuda ini mempunyai tugas memotong aliran serangan lawan, namun dia juga dibekali kemampuan memberi umpan yang baik dan agresifitas tinggi, sehingga dia juga bisa bermain sebagai box-to-box midfielder.

Gelandang lain adalah Axel Witsel, naturalnya dia adalah gelandang sentral, namun dia dibekali kreatifitas yang baik sehingga mampu berperan sebagai ­deep-playmaker, sehingga wajar apabila pemain Zenit St. Petersburg diincar klub top Eropa seperti AC Milan, Chelsea, dan Real Madrid.

Ada juga nama gelandang eksentrik Manchester United, Marouane Fellaini. Fisiknya yang menjulang dan versatilitasnya bermain di pos gelandang bertahan, gelandang tengah, gelandang serang dan bahkan menjadi striker sangat berguna bagi Belgia. Lalu ada nama Steven Defour, mantan pemain FC Porto yang kini berada di Anderlecht yang juga bisa dikedepankan sebagai pilihan di lini tengah.

Untuk posisi attacking midfielder dan winger, Belgia sangat beruntung karena pemain di posisi-posisi tersebut sangat berkualitas. Yang paling menjadi perhatian adalah Eden Hazard, dia lah yang menjadi “metronom” inti permainan The Red Devils, julukan Belgia.

Pemain dengan kualitas terbaik di tim nasional Belgia saat ini adalah Hazard, dengan kecepatan, eksplosifitas, dribble, passing, akselerasi dan kemampuannya mencetak gol, dialah pemimpin Belgia dari segi teknis permainan, apalagi dia bisa dipasang sebagai gelandang serang atau pun sayap.

Pemain yang kemampuannya mendekati Hazard adalah Kevin De Bruyne, teknik dia bagus apalagi dia tipe gelandang serang yang mampu mengkreasi peluang dengan passing akuratnya, sehingga pemain Manchester City ini juga merupakan bagian penting bagi Belgia.

Lalu ada nama Moussa Dembele dari Tottenham yang bisa bermain disemua posisi lini tengah hingga lini depan yang tentu sangat menguntungkan bagi Marc Wilmots. Selain itu ada nama sayap-sayap eksplosif lain seperti Yannick Ferreira-Carrasco (Atletico Madrid), Kevin Mirallas (Everton), Nacer Chadli (Tottenham), Dries Martens (Napoli), tiga youngster; Adnan Januzaj (Manchester United), Youri Tielemans dan Dennis Praet (Anderlecht) yang bisa diandalkan sebagai sayap dan gelandang serang.

Posisi penggedor gawang lawan juga dahsyat, ada duo ujung tombak Merseyside; Romelu Lukaku dan Christian Benteke. Mereka berdua adalah penyerang yang bertubuh besar dan jago dalam duel udara.

Mereka bersaing satu sama lain untuk menjadi pilihan utama di tim nasional Belgia, apalagi mereka membela dua kubu yang berseberangan dan menjadi rival abadi, Lukaku di Everton dan Benteke di Liverpool.

Jadilah persaingan mereka untuk merebut posisi sebagai striker utama Belgia akan semakin panas karena mereka juga membela klub yang saling bermusuhan satu sama lain. Untuk opsi lain di lini depan ada nama Divock Origi (Liverpool), namun dia tidak terlalu menonjol dan hanya menjadi pelapis di Liverpool. Selain itu, pos depan juga bisa diisi oleh Marouane Fellaini atau Mousa Dembele, yang mempunyai versatilitas tinggi.

Membludaknya talenta hebat di tim nasional Belgia juga tak bisa dilepaskan dari peran klub-klub Liga Belanda.

Memang wajar apabila banyak klub Belanda mengambil pemain muda dari Belgia, mengingat dua negara itu bersebelahan dan orang-orang Belgia juga bisa berbahasa Belanda, sehingga adaptasi bisa lebih cepat karena kultur dua negara itu pun tidak jauh berbeda.

Akan tetapi ini menjadi blunder bagi sepakbola Belanda itu sendiri, apalagi ketika pemain-pemain Belgia mampu menunjukkan penampilan yang memikat dan dibeli klub besar Eropa.

Contohnya adalah Jan Vertonghen, Toby Alderweireld, Thomas Vermaelen, Nacer Chadli, Mousa Dembele, dan Dries Martens, nama mereka diminati klub besar Eropa sejak menapaki karir di Belanda.

 Sehingga kualitas tim nasional Belgia akan naik meski Liga di Belgia itu sendiri tidak terlalu bagus dibanding Eredivisie.

Artinya klub-klub Belanda seperti Ajax, PSV, Twente dan Feyenoord justru berperan dalam peningkatan kualitas tim nasional Belgia dengan banyak mengambil pemain dari negara tetangga mereka tersebut dan popularitas Belgia sebagai negeri penghasil pemain muda berkualitas pun semakin terdongkrak.

Dengan semakin terkenalnya Belgia sebagai negeri pemain muda berkualitas, membuat klub-klub Eropa juga tak jarang untuk langsung mengarahkan pandangannya ke Liga Belgia tanpa harus melalui Liga Belanda, sehingga saat ini banyak juga pemain muda dari Liga Belgia yang direkrut oleh klub-klub Eropa.

Seperti perpindahan Courtois, Fellaini, Witsel, Hazard dan De Bryune yang langsung menuju klub besar Eropa tanpa bermain di Belanda terlebih dahulu.

Sebuah ironi, disaat tim nasional Belgia berprestasi karena ada faktor “bantuan” klub-klub Belanda, tim nasional Belanda sendiri malah mengalami penurunan kualitas, karena pemain-pemainnya yang tidak terlalu kompetitif dan sebagian besar tidak bermain di klub besar Eropa (sudah dibahas di artikel sebelumnya, lihat juga artikel “Dutchman yang “Tenggelam”) dan prestasi Belgia tentu adalah kesegaran tersendiri bagi pecinta sepakbola.

Munculnya tim “baru” yang berkualitas ditataran sepakbola Eropa akan membuat persaingan di Euro 2016 nanti semakin menarik.

Belgia saat ini sedang dalam masa terkuatnya dengan dihuni berbagai pemain andalan di klub-klub besar Eropa, karena memang benar bahwa Belgia sedang dalam masa “keemasan”, mari kita tunggu gebrakan apa yang akan mereka buat di Euro nanti, masuk semifinal? Final? Ataukah mampu menjadi juara? Patut kita saksikan dengan seksama aksi Hazard dan kawan-kawan di Euro 2016 nanti.

Foto dari isportimes.com

Dutchman yang “Tenggelam” Menuju Prancis

Siapa yang tidak tahu akan kehebatan “The Flying Dutchman”?, cerita legendaris tentang kapal laut yang melegenda di seantero benua Eropa sebagai kapal penguasa lautan, dan julukan inilah yang disematkan kepada tim nasional sepakbola Belanda, disamping julukan De Oranje.

Julukan The Flying Dutchmen pantas diberikan kepada Belanda, selain karena kehebatan orang-orangnya dalam mengarungi lautan, dalam hal sepakbola kehebatan Belanda juga sudah menjadi rahasia umum, apalagi jika melihat rekam jejak tim nasional-nya.

Dahulu kala tim nasional Belanda begitu disegani di level dunia, kemunculan gaya permainan Totaal Voetbal karya pelatih legendaris, Rinus Michels dan Johan Cruyff sebagai playmaker-nya di era 70’an sukses dengan menjadi finalis Piala Dunia 1974. Lalu di era 80’an ada trio pemain AC Milan (yang juga berjaya dilevel klub); Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard yang sukses memberikan gelar juara Piala Eropa 1988 kepada Belanda.

Pada masa 90’an berlanjut dengan kemunculan “generasi” Ajax Amsterdam seperti Edwin Van Der Sar, Clarence Seedorf, Marc Overmars, Phillip Cocu, Frank dan Ronald De Boer, Patrick Kluivert, dan Edgar Davids, lalu berlanjut di era dekade 2000’an dengan pemain-pemain tenar seperti Givanni Van Bronckhorst, Arjen Robben, Mark Van Bommel, Wesley Sneijder, dan Robin Van Persie yang sukses dengan gelar runner-up di Piala Dunia 2010.

Belanda juga terkenal sebagai negeri sepakbola bagi para pemain muda meski liga tertinggi di negara tersebut yaitu Eredevisie, bukan termasuk liga terbaik di Eropa.

Meski begitu talenta muda tiada hentinya lahir di negeri kincir angin tersebut, mulai dari kiper handal seperti Edwin Van Der Sar, bek tangguh Jaap Stam, gelandang yang kokoh seperti Nigel De Jong, gelandang kreatif Rafael Van Der Vaart, bahkan striker tajam seperti Ruud Van Nistelrooy.

Belanda seperti tidak pernah kehabisan stok pemain bagi tim nasional-nya, apalagi pemain Belanda terkenal adaptif dengan berbagai macam bentuk permainan sehingga kran transfer pemain dari Belanda ke klub-klub diluar Belanda pun terus saja terjadi disetiap jendela bursa transfer dibuka.

Disetiap ajang turnamen internasional, baik di level benua maupun dunia, Belanda selalu masuk dalam kontender calon kuat juara, tak terkecuali di Euro 2016 Perancis yang akan datang.

Dengan modal sebagai peringkat ketiga di World Cup 2014 dan berada di Grup A dengan “hanya” menghadapi tantangan paling berat dari Turki dan Republik Ceko, banyak kalangan menganggap Belanda akan melaju mulus di kualifikasi dan juga menjagokan Belanda akan berbuat banyak di Euro 2016 nanti.

Namun jauh panggang dari api, yang terjadi justru sebaliknya, Belanda gagal lolos dari grup dengan hanya mampu finis di posisi 4 dan tidak akan ikut serta dalam Euro 2016!!!.

Sungguh ibarat sebuah “obituari” bagi penggemar De Oranje maupun orang yang mendambakan persaingan ketat di Euro 2016 Perancis nanti.

Akan tetapi sebenarnya tanda-tanda kerapuhan Belanda sudah terlihat sejak dikalahkan Islandia 0-1 di kandang sendiri, lalu ditambah dengan hasil buruk kalah 3-0 dari Turki dan 2-3 dari Republik Ceko di akhir-akhir jadwal kalifikasi membuat mimpi pasukan pelatih Danny Blind harus dikubur total.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan Belanda? Apakah permainan mereka itu buruk? Atau regenerasi yang tak berjalan dengan baik? Tentu ini terasa aneh, Belanda adalah pemilik gaya permainan totaal voetbal, lalu mereka juga terkenal dengan bakat-bakat pemain mudanya yang tak pernah habis.

Anomali terjadi jelang akhir kualifikasi mereka seperti kehabisan nafas, disamping peningkatan kualitas tim para pesaing di grup, sebenarnya mereka tak bergitu buruk selama kualifikasi, hanya saja ada satu hal yang kurang dalam skuad arahan Danny Blind yang mungkin ini faktor penting berpengaruh menjelang akhir sebuah kompetisi seperti kualifikasi Euro 2016 yang tentunya banyak tekanan.

Faktor itu adalah mentalitas pemain dalam skuad tim nasional Belanda. Memang soal regenerasi tak perlu disangkal, melimpahnya stok pemain bertalenta membuat siapapun pelatih Belanda tidak akan bingung dalam membentuk skuad yang bagus, akan tetapi mental pemain adalah faktor yang “tak kalah” penting disamping faktor teknik dan bakat pemain.

Mentalitas pemain akan teruji apabila para pemain tersebut sering bermain dalam pertandingan penting dan bertensi tinggi ataupun bermain untuk tim besar yang penuh tekanan.

Apabila para pemain terbiasa menghadapi pertandingan penting bertensi tinggi atau berada di klub besar dan mereka mampu bermain baik, tentu hal itu akan berdampak baik di waktu yang akan datang, mental mereka akan terbiasa ketika menghadapi tekanan besar di pertandingan-pertandingan selanjutnya dan bermain dengan baik.

Faktor mentalitas inilah yang kurang dalam timnas Belanda, mulai dari sektor penjaga gawang. Kiper utama saat ini Jasper Cillessen tidaklah bermain di tim besar Eropa karena hanya bermain bagi Ajax Amsterdam, meski Ajax pernah juara Liga Champions, namun saat ini Ajax hanyalah sebuah tim yang jago di kancah lokal Belanda, begitu juga dengan kiper kedua, Tim Krul yang hanya bermain bagi tim papan tengah Liga Inggris, Newcastle.

Lanjut ke lini belakang, diposisi bek kanan ada Gregory van der Wiel yang bermain baik di World Cup 2010 dan kemudian dibeli Paris Saint-Germain dari Ajax, namun sekarang dia hanya menjadi penghangat bangku cadangan karena kalah bersaing dengan Serge Aurier. Bek kanan lain, Daryl Janmaat hanya bermain untuk Newcastle.

Lalu untuk posisi bek sentral ada nama Bruno Martins Indi yang sangat menjanjikan di FC Porto, namun Porto bukanlah tim jagoan di benua biru meski dulu pernah menjuarai Liga Champions.

Ada juga nama Stefan De Vrij, bek tengah Lazio tetapi jangankan bersinar di kancah Eropa, di Italia saja Lazio bukan unggulan juara Serie-A. Ada juga nama bek Southampton, Virgil van Dijk namun Southampton pun hanya klub menengah di arena Premier League.

Mungkin sektor bek kiri lah yang dapat dikatakan mumpuni untuk lini belakang, ada Daley Blind anak dari Danny Blind, yang bermain bagus di Manchester United.

Ditambah keberadaan Louis van Gaal, sepertinya posisi dia di Manchester United aman untuk beberapa tahun kedepan, namun di tim nasional Belanda, sektor bek kiri hanya dilapisi oleh Jetro Willems dari PSV Eindhoven ataupun bek kiri Ajax, Jairo Riedewald. Tentu sangat riskan apabila Blind cedera atau terkena skorsing, lubang yang ditinggalkan akan sangat terbuka.

Blind Euro mirror
Blind, seperti arti namanya dalam bahasa Inggris. Dia tidak dapat melihat kemana kapal Flying Dutchman harus disandarkan.

Lini tengah Belanda mempunyai segudang pemain bagus namun mereka sedang tidak dalam performa terbaik, entah faktor cedera, permainan klubnya yang buruk ataupun kualitas tim yang tidak terlalu baik.

Posisi gelandang bertahan ada nama Nigel de Jong, jangkar pekerja keras ini adalah karang bagi pemain lawan, namun flop-nya performa AC Milan juga berpengaruh bagi kualitas De Jong tak sebagus dulu, cadangannya Vurnon Anita dari Newcastle dan dan Leroy Fer dari Queens Park Rangers tak sepadan dengan kemampuan De Jong.

Untuk posisi central midfielder, sebenarnya asa muncul pada diri Kevin Strootman, sempat bermain bagus bagi AS Roma, namun cedera panjang menghambat karirnya, lalu ada juga nama talenta muda Marco van Ginkel, ketika baru bergabung ke Chelsea dia sempat menunjukkan prospek cerah sebagai gelandang hebat di masa depan.

Namun sama dengan Strootman, cedera panjang membuat dia kesulitan kembali ke bentuk performa terbaiknya dan saat ini hanya bermain di Stoke City, selain itu ada nama Jonathan De Guzman dan Jordie Clasie, namun mereka berdua hanya pemain cadangan; yang satu Napoli dan satunya di Southampton.

Sektor gelandang serang atau playmaker masih ada gelandang kreatif berkualitas tinggi, Wesley Sneijder namun meski bermain baik bagi Galatasaray, usia yang menua tentu sedikit banyak mengurangi kualitas dan pengaruhnya bagi permainan tim nasional Belanda.

Pelapisnya ada kapten Ajax saat ini, Davy Klaassen akantetapi performanya di tim nasional belum mencapai performa terbaiknya seperti di Ajax. Sebenarnya sebelum kemunculan Klaassen, ada nama kapten Ajax sebelum Klaassen dan Niklas Moisander yang juga berposisi sebagai playmaker, yaitu Siem De Jong, namun pemain yang kini main di Newcastle United ini tenggelam karena cedera parah yang pernah dialaminya.

Untuk posisi lini depan, tenaga Arjen Robben masih “ada” namun sudah tidak maksimal mengingat di Bayern Munchen dia juga sudah tidak lagi menjadi prioritas sebagai winger utama.

Harapan publik Belanda ada pada pundak Memphis Depay, dengan bermain di Manchester United dan menjadi bintang disana tentu hal ini akan mengkikis secara perlahan dambaan mereka pada aksi Robben, namun performanya sampai saat ini masih jauh dari ekspektasi.

Nama-nama seperti Luciano Narsingh (PSV) atau Jeremain Lens dari Sunderland tidaklah cukup mumpuni, adapun Giorginio Wijnaldum di Newecastle yang alaminya sebagai pemain sayap malah dimainkan sebagai central midfielder.

Untuk posisi penyerang tengah keberadaan Robin van Persie sudah seharusnya digantikan, apalagi dia hanya pemain cadangan di Fenerbahce.

Nama lain adalah Klaas Jan Huntelaar yang sudah tak setajam dahulu lagi di Schalke, ataupun Bas Dost yang musim lalu rajin cetak gol bagi Wolfsburg namun kurang diberi kesempatan oleh Danny Blind.

Keberadaan striker lain seperti Eljero Elia (PSV) yang dulu sempat gagal total di Juventus ataupun youngster Ajax, Anwar el Ghazi juga sangatlah kurang bagi Belanda jika ingin berbicara banyak di level internasional seperti Euro.

Faktor mentalitas pemain begitu penting dan hal itulah yang harus dicontoh Belanda dari Spanyol. Spanyol saat ini seperti Belanda, melimpahnya stok pemain bagus membuat siapapun pelatih Spanyol girang namun disini ada faktor pembedanya.

Vicente Del Bosque tidak begitu sering mengutak-atik kompisisi tim nasional Spanyol dengan pemain yang sedang on form. Dia memang tetap memanggil pemain yang sedang dalam performa bagus, entah itu di tim besar ataupun di tim semenjana, namun siapa yang bermain di lapangan adalah mayoritas mereka yang sudah lama berada di timnas.

Del Bosque akan tetap memainkan Sergio Ramos, Cesc Fabregas, ataupun David Silva meski hanya menghadapi Finlandia. Spanyol baru memasukkan pemain “baru” seperti Paco Alcacer, Alvaro Morata, ataupun Mario Gaspar bila memang sudah “saatnya” dan itupun tidak merubah total komposisi pemain karena hanya sebagian kecil yang berubah.

     Mentalitas pemain yang baik membuat regenerasi dan performa timnas Spanyol berjalan dalam keseimbangan, sebagai contoh performa bagus Santi Cazorla selama membela Malaga pun tak serta merta membuatnya menjadi pemain inti di timnas, Del Bosque menilai Santi tidak hanya berdasarkan grafik permainan sesaat, barulah setelah menunjukkan kenaikkan dan konsistensi performa saat pindah ke Arsenal, dia mulai menjadi andalan di La Furia Roja.

Artinya kepantasan seorang pemain menjadi andalan di tim nasional tidak diukur dari performa saja, melainkan konsistensi seorang pemain menjaga performanya hingga akhirnya layak disebut sebagai pemain berkelas dan sudah pasti bermental juara.

Konsistensi menjaga performa turut berpengaruh pada mental para pemain tersebut, kepercayaan diri pemain akan terdongkrak, karena menjadi pemain penting di klub dan sering berlaga dalam game yang penuh tekanan, apalagi jika berada di tim besar mental pemain tersebut semakin kokoh dengan tekanan-tekanan yang ada andai tetap mampu menjaga konsistensi permainan.

Hal inilah yang tidak ada pada Belanda dan yang membedakan dengan Spanyol, masalah inkonsistensi performa pemain bintang di klub, pemain andalan tim nasional yang hanya berada di klub menengah, sampai kegemaran Danny Blind merubah-rubah susunan pemain dengan para “debutan” yang performa-nya terkadang masih angin-anginan membuat permainan mereka justru menurun menjelang akhir kualifikasi.

Pemain dengan performa bagus selalu dicoba oleh Blind, namun sepertinya dia tidak menyadari bahwa pemain berkelas itu berbeda dengan pemain yang hanya “sedang”dalam performa bagus, rata-rata pemain yang dipakai Blind baru menjadi andalan di klub musim ini atau setahun dua tahun lalu, itu membuat mentalitas pemain kurang teruji dalam laga-laga besar dan krusial.

Padahal keteguhan dan kuatnya mental pemain dibutuhkan disaat-saat genting seperti akhir kualifikasi yang sangat menentukan nasib dan mental kuat inilah yang tidak ada pada pasukan Belanda. Hasilnya adalah pukulan telak bagi “The Flying Dutchman” yang harus menerima nasib menjadi “The Sinking (tenggelam) Dutchmen”.

Sungguh sebuah ironi, melihat tim yang kaya akan pemain bertalenta dan sejarah sepakbola-nya yang begitu mahsyur, dipecundangi oleh tim yang dikatakan kelas dua seperti Turki, Ceko maupun Islandia. Dan akhirnya kegagalan Belanda ini mengingatkan kita pada istilah populer dalam dunia sepakbola bahwa “form is temporary, but class is permanent”.

Foto dari mirror.co.uk