Belanda, Total Football dan Masalah-masalahnya

Ah, hal apa lagi yang lebih mengasyikkan di dalam alam pikiran manusia jika bukan ingatan akan masa lalu? Masa lalu, sejarah dan nostalgia adalah sesuatu yang mahal, lagipula merawat ingatan tak bisa dinilai dengan materi apapun.

Entah suka atau duka, masa lalu akan senantiasa membersamai hidup manusia hingga masa depan. Jika ingin bukti, lihatlah apa yang terjadi dengan tim nasional Belanda saat ini.

Belanda sebagai negeri sepakbola, sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Kalau sampai anda tidak tahu apa itu Total Football di dunia sepakbola, saya rasa anda ibarat menyelami lautan, tetapi urung melihat dengan seksama seperti apa keindahan terumbu karang didalamnya.

Total Football, permainan yang menitikberatkan pada penguasaan permainan, keindahan permainan dan kolektivitas tim baik itu saat menyerang dan bertahan, telah melejit di era 70an dan memang menjadi ciri khas dari sepakbola Belanda. Semenjak munculnya gaya permainan itu, Belanda menapaki tiga kali final Piala Dunia dan menuai satu kampiun Piala Eropa di tahun 1988.

Dalam Total Football, meski terlibat dalam kolektivitas, setiap pemain dibekali teknik individu yang baik. Karena untuk menyajikan permainan mempesona dan sedap dipandang mata, tentu diperlukan olah bola yang baik pula.

Pada mulanya, Rinus Michels si penemu Total Football, meramu filosofi bermain itu di Ajax. Kesuksesan klub dari Amsterdam itu merajai Belanda dan Eropa diawal era 70an, membuat Michels pada akhirnya ditunjuk menangai timnas Belanda. Sang pelatih kemudian menginjeksi Total Football di tubuh skuat Oranje.

Keberhasilan Michels menerapkan sepakbola menyerang itu juga harus diakui memang berkat dominasi pemain Ajax di timnas Belanda. Jika Michels adalah jenderal penyusun stategi perang, maka Johan Cruyff, juga anak didiknya di Ajax, ialah komandannya di lapangan.

Berkat Total Football yang legendaris itu, sepakbola Belanda begitu disegani.
Selama bertahun-tahun, gaya Total Football menjadi cetak biru bagaimana sepakbola Belanda dibangun. Selain permainan yang enak dilihat, buah darinya, banyak pesepakbola sangat berkualitas lahir dari sepakbola negeri kincir angin.

Siapa tak kenal pemain Belanda generasi 80an semacam Van Basten, Gullit dan Rijkaard. Kemudian generasi 90an seperti Bergkamp, Koeman, De Boer atau Seedorf hingga generasi mulai melejit di milenium 2000 seperti Van Persie, Robben dan Sneijder.

Namun, sehebat apapun pencapaian manusia, tetap saja ada sedikit cela didalamnya. Total Football ala Belanda selain menarik disaksikan dan begitu menjiwai sepakbolanya, tetapi disisi lain juga menyimpan duka bersamanya.

Di era keemasan Belanda, meski dipuja-puji setinggi langit, mereka haruslah tetap menginjakkan kaki di bumi. Di Piala Dunia, mereka terjungkal dari efektifitas ala Jerman di 1974, harus kalah dari sepakbola menawan lain bernama “Menottisimo” di 1978 dan justru dilumat Spanyol di 2010, yang ironisnya Tiki-taka adalah evolusi dari Total Football itu sendiri.

Selain efek positif, Total Football bisa juga berefek negatif bagi Belanda. Positifnya, banyak pemain dari Belanda yang berkemampuan individu istimewa. Tempaan dari ideologi itu mau tidak mau menggiring mereka untuk mengeksplorasi teknik bermain sedemikian rupa, karena memang dibutuhkan ketrampilan ekstra dalam menampilkan sepakbola yang “baik” dan dominan seperti Total Football.

Tetapi, filosofi yang sudah sangat mengakar di pesepakbolaan Belanda itu, lambat laun menumbuhkan buah pemikiran dan mentalitas yang bisa dikatakan buruk. Para pelaku sepakbola dari sana entah secara sadar atau tak sadarkan diri, seakan lebih mengedepankan bagaimana bermain (menguasai) sepakbola dengan baik, daripada bagaimana bermain agar memenangi pertandingan.

Hal itu semacam penyakit. Manchester United pernah merasakan bagaimana timnya serasa didikte “how to play good (possesion ball) football”, daripada “how to win the game” ketika seorang meneer Belanda, Loius Van Gaal melatih klub tersebut. Yang lebih parah ketika itu, dengan materi yang tak mendukung untuk “Total Football”, bukannya menguasai bola dan permainan indah didapat, justru permainan menjemukan karena terlalu berlama-lama dengan bola dituai.

Hal yang sama diperoleh Everton musim 2017/18 ini. Ronald Koeman yang sukses di Southampton justru gagal di Everton pada musim keduanya ini. Setali tiga uang, Frank De Boer, yang coba menyegarkan penglihatan suporter Crystal Palace dengan possesion football-nya yang sukses di Ajax, justru menemui kekecewaan total di Inggris.

Satu hal yang tidak hilang dari setiap pelatih Belanda adalah “penguasaan bola”. Tentu hal itu tak dapat dipungkiri lagi, akibat dari jiwa pesepakbolaan Belanda yang sangat dipengaruhi oleh Total Football sejak dari dahulu kala.

Lalu, bisa kah mengatakan mental “yang penting menguasai laga” daripada “yang penting memenangi laga” ini adalah faktor utama kemerosotan sepakbola Belanda? Bisa dikatakan iya, namun tidak tunggal.

Belanda juga bermasalah dengan regenerasi pemain. Andai kata penghuni timnas akhir-akhir ini adalah pemain-pemain yang lebih berkualitas, tentu mereka mampu lebih banyak memberikan perlawanan berarti untuk melaju ke Rusia. Tetapi lihatlah skuat saat ini.

Hanya ada segelintir andalan timnas yang berasal dari klub besar Eropa. Jasper Cillessen (Barcelona), Daley Blind (Manchester United), Giorginio Wijnaldum (Liverpool), Kevin Strootman (Roma) dan Arjen Robben (Bayern Muenchen). Itu saja dengan situasi; Cillessen menghangatkan bangku cadangan Barca, Blind dirotasi dengan Matteo Darmian, Strootman dan Wijnaldum bolak-balik cedera dan Robben dimakan usia.

Netherlands' forward Arjen Robben acknow
Robben pensiun dari timnas, ketika Belanda sedang dalam masa-masa terpuruknya.

Memphis Depay memang bagus musim ini, tetapi dia sedang di Lyon, bukan Manchester United lagi. Sneijder sudah menua. Kini harapan Belanda dipanggul pemain semacam Quincy Promes dan Davy Propper. Anda belum tahu siapa mereka? Promes adalah sayap dari Spartak Moskow dan Propper itu gelandang Brighton & Hove Albion, ya.

Jika kebanyakan diisi pemain dari klub medioker dan minim pemain bintang, bisa Anda bayangkan sendiri kenapa melawan tim seperti Islandia dan Swedia saja, Belanda kesulitan bersaing.

Ketika dahulu banyak pemain Belanda menjadi andalan klub besar, kenapa sekarang banyak pemain muda Belanda yang bertebaran di klub semenjana? Tentu itu harus dijawab dengan penelitian dan kajian serius nan mendalam tentang masalah pada Belanda.

Tetapi misalnya satu contoh masalah, tentang pemain muda Belanda masa kini yang terlalu gampangnya mereka mengiyakan tawaran untuk merantau terlalu dini. Anda harusnya ingat kejadian Ricardo Kishna atau Anwar El Ghazi yang dijuluki “The Next Ronaldo”.

El Ghazi, semenjak keluar dari Ajax, kini mentok bersama Lille di Prancis. Kishna malahan kini bermain di ADO Den Haag, klub semenjana di Eredivisie Belanda, setelah gagal di Lazio. Belum lagi menghitung Luuk De Jong, Siem De Jong, Leroy Fer atau Jordy Clasie, yang sempat digadang menjadi andalan masa depan Belanda, namun kini semuanya menghilang dari radar.

Kapten Ajax musim lalu, Davy Klaassen kini terpaksa meratapi nasib menjadi “ban serep” di Everton. Bagaimana dengan Vincent Janssen? Kini dia dibuang oleh Tottenham ke Fenerbahce.

Memangnya klub-klub di Belanda tidak bisa memproduksi pemain-pemain berkualitas? Tentu saja bisa, tetapi apakah kualitas dan mental mereka terasah dengan baik, hal itu belum pasti.

Kompetisi sepakbola Belanda bukanlah yang paling kompetitif di Eropa. Selain itu, prestasi klub-klub Belanda (dengan pemain-pemain Belanda di dalamnya) di kompetisi Eropa juga surut akhir-akhir ini. Ajax, PSV dan Feyenoord tak mampu menuai sesuatu berarti di level benua.

Benang merahnya, bagaimana timnas Belanda beprestasi kalau rata-rata pemainnya ada di klub medioker dan berada di klub lokal yang minim daya kompetitifnya di Eropa? Mungkin ini bisa dijawab dengan: strategi pelatih bisa menuntaskan masalah tersebut. Tetapi, lagi-lagi Belanda juga bermasalah pada kursi kepelatihan dan manajemen organisasi KNVB.

Dalam kurun tiga tahun terakhir (semenjak ditinggal Van Gaal), De Oranje sudah tiga kali berganti nahkoda kapal. Bergonta-ganti pelatih tentu membuat stabilitas tim menuai pertanyaan besar.

Belum lagi Belanda terlalu gegabah dengan menunjuk seorang minim pengalaman seperti Danny Blind. Kesalahan juga ada di KNVB atau PSSI-nya Belanda. Mereka dituding tidak punya visi jelas, yang berujung chaos di timnas Belanda dalam kurun waktu empat-tiga tahun terkahir.

Kalau dikerucutkan, permasalahan Belanda adalah begini kiranya. Pertama, Total Football yang mulai usang dan hanyalah kejayaan masa lalu. Lagipula, permainan indah itu juga terbarengi dengan ironi Belanda diantara kehebatan dan kepahitan sejarah. Sudah saatnya Belanda move on dari nostalgia akan masa lalunya.

Kedua, Total Football yang terlanjur mempengaruhi pola pikir dan mental pesepakbolaan Belanda. Pola pikir mementingkan bagaimana memainkan sepakbola yang baik, daripada bagaimana memperoleh kemenangan, menjadi semacam penyakit tujuh turunan.

Lain daripada itu, meski pada akhirnya menghasilkan individu berbakat, mentalitas pemenang tidak tumbuh pada skuat Belanda, yang secara alam bawah sadar terbiasa mementingkan permainan bagus daripada hasil yang bagus.

Ketiga, soal regenerasi. Padahal saya yakin banyak sekali pemain muda potensial dari Belanda. Tetapi masalahnya, kompetisi di Belanda ketinggalan jauh dari negara-negara lain. Tak heran, kenapa para pemain mudanya terlalu gegabah mencoba kerasnya dunia luar, padahal disisi lain skill dan mental mereka belum siap sepenuhnya untuk itu.

Disamping godaan gaji yang lebih berlimpah jika bermain diluar Belanda. Lain daripada itu, klub-klub di Belanda juga tak kompetitif untuk ukuran Eropa, itulah kenapa Belanda tetap saja ringsek meski mengandalkan pemain-pemain andalan dari Ajax, PSV dan Feyenoord atau klub Belanda lainnya.

Soal adaptasi dengan dunia luar, pemain Belanda juga punya kekurangan. Dalam mengembangkan pesepakbola, Belanda sangat mementingkan kualitas setiap individu pemain muda. Maka tak heran, Belanda selalu bisa menelurkan bakat-bakat muda potensial. Tetapi soal materi taktik bagi pemain muda, lain lagi. Rasanya dalam mengembangkan pemain muda, otoritas disana kurang memberi porsi lebih tentang taktik.

Bisa jadi karena terpacu demam Total Football, disana pemain U-18 masih saja dijejali porsi “ball mastery” atau penguasaan teknik-teknik bermain bola yang baik. Disatu sisi edukasi teknikal semacam itu membuat kemampuan individu pemain terasah, tetapi tanpa edukasi taktik yang memadai justru menjadi blunder tersendiri. Maka tidak heran, pemain Belanda alumni Piala Dunia 2014 banyak yang tenggelam saat ini, meski performa bagus mereka membuat Belanda finis peringkat tiga.

Keempat, terlalu seringnya berganti pelatih dan tak jelasnya visi dari KNVB dalam membangun pesepakbolaan Belanda, tentu ikut berdampak pada kehancuran mereka saat ini.

Total Football memang indah, kawan. Saya bukan membenci, tetapi realistis saja. Untuk apa berkompetisi dengan menendang kulit bulat, kalau kemenangan bukan tujuan akhir?

Tak perlu lah sekiranya Belanda bermain catenaccio hanya demi memperoleh hasil. Ada contoh seperti Spanyol, yang mampu mengharmonisasikan permainan indah dengan kemenangan. Kalau dulu Spanyol sudi belajar dari Belanda tentang Total Football, harusnya sekarang mereka tak malu untuk berbalik dan belajar dari Spanyol tentang Tiki-taka, kenapa tidak?

Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan? Jalannya hanya satu, mereka harus belajar dan sadar diri tak lagi menjadi kekuatan besar. Bahkan kini mereka tertinggal jauh dari Belgia, tetangga mereka yang dulu mereka remeh-temehkan karena kesulitan lolos turnamen besar.

Hakim Ziyech menolak panggilan Belanda dan lebih memilih timnas Maroko. Pilihan itu dikritik Van Basten sebagai pilihan tak masuk akal, karena Belanda, katanya sang legenda jauh lebih besar dari Maroko. Namun, kini Van Basten sendiri harus melihat Ziyech dan kolega bertarung di Rusia nanti, manakala dia meratapi diri tak akan melihat kaus Oranje disana pada 2018.

marco-van-basten independet
Andai kritik Van Basten untuk Hakim Ziyech terjadi delapan atau sepuluh tahun lalu, itu benar. Tetapi untuk sekarang, justru kritiknya menjadi semacam ironi tersendiri kalau tidak ingin disebut “dagelan”.

Dahulu kala, rasanya mustahil ada pemain sepakbola menolak panggilan dari timnas bereputasi besar seperti Belanda. Namun, peristiwa Ziyech menjadi gambaran bahwa, Belanda sudah tak dianggap lagi oleh pemain potensial sebagai timnas yang “besar”. Bisa jadi hal ini akan memicu pemain-pemain keturunan Belanda lainnya untuk menolak berseragam Oranje.

Kegagalan Belanda harusnya dimaknai sebagai alarm bagi mereka untuk segera berbenah, bahwa Total Football dan segala dampak pemikiran dan mentalitasnya tidak seratus persen salah, tetapi harus ada inovasi sesuai perkembangan zaman.

Lain daripada itu, ternyata federasi sepakbola mereka, KNVB juga bermasalah dan perlu segera berbenah. Kalau tidak, mungkin saja Belanda akan terhapuskan namanya dari sepak bola suatu saat nanti.

Sumber foto dari independent.co.uk dan metro.co.uk.