Steven Gerrard dan Perjuangan Mematahkan Mitos-Mitos

Steven Gerrard resmi akan menjadi pelatih salah satu kesebelasan terbesar di Skotlandia, Glasgow Rangers untuk musim 2018/19 . Disana, sang legenda akan head-to-head secara langsung dengan mantan bosnya semasa di Liverpool, Brendan Rogders yang menangani Glasgow Celtic.

Derbi Glasgow musim depan akan lebih semarak dari sebelum-sebelumnya. Selain pertemuan klasik Rangers dan Celtic, menu Gerrard bersua Rodgers juga akan menjadi headline yang diapungkan.

Didapuknya mantan kapten The Reds tersebut sebagai pelatih Rangers, harus diakui membawa optimisme ke klub yang bermarkas di Ibrox Stadium tersebut. Keberadaan nama besar seperti Gerrard diharapkan mengangkat kembali The Gers untuk bersaing di papan atas Liga Primer Skotlandia, yang didominasi Celtic dalam 7 musim terakhir.

Tetapi, skeptisme juga muncul karena Gerrard yang masih nol pengalaman dalam menangani tim profesional. Sebelum menangani Kenny Miller dan kolega musim depan, pengalaman Gerrard hanyalah coach di tim U-18 Liverpool.

Tugas berat akan menanti Gerrard di Ranger. Klub itu dalam misi mengembalikan kejayaan masa lalu mereka pasca problem finansial dan terdemosi ke kasta keempat, Scottish Third Division pada musim 2012/13 lalu.

Meski musim lalu sudah kembali ke Liga Primer Skotlandia, Rangers masih kesulitan bersaing terutama dengan rival abadinya Celtic. Melawan dominasi Celtic di Skotlandia saat ini, bagi Gerrard ibarat lah mematahkan sebuah mitos.

Secara tradisi, Rangers dan Celtic adalah duopoli Skotlandia, mungkin mirip-mirip dengan Real Madrid dan Barcelona di Spanyol. Namun, secara kesiapan tim untuk memberi perlawanan sengit pada Celtic, Rangers masih lah butuh proses lebih lama. Bukti nyata ketika Rangers dibantai 0-5 oleh Celtic pada pertemuan terakhir kedua tim awal Mei lalu. Hasil itu makin melenggangkan Celtic merengkuh juara Liga Primer Skotlandia yang ketujuh berturut-turut.

Merongrong dominasi Celtic saat ini adalah mitos yang berat untuk Gerrard hancurkan. Padahal, kita tahu kisah perjalanan karir Gerrard pun lekat dengan perlawanan terhadap mitos-mitos yang ia hadapi. Paling mengena dan tentu paling membuatnya dilema adalah soal relasi Liverpool dan gelar Liga Inggris.

Semenjak mulai debut di tahun 1998, Gerrard perlahan mulai memanggul tanggung jawab yang besar. Di era Gerard Houllier, dia diangkat sebagai kapten utama pada musim 2003/04 menggantikan Sammy Hyppia. Selain scouser tulen, posisinya yang beredar di lini tengah dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi membuatnya makin elegan mengemban amanah skipper Liverpool.

Gelar juara masing-masing satu Liga Champions, satu Piala FA dan satu Piala Liga sukses direngkuh Liverpool ketika ban kapten terlingkar di lengan Gerrard. Jelas sebuah pencapaian brilian untuk karir seorang pesepak bola.

Gerrard tumbuh kembang sedari kecil dengan kenangan akan kejayaan Liverpool di Inggris. Disaat itu The Reds sedang merajai Divisi Pertama dengan capaian 18 kali juara. Terbanyak di Inggris. Namun ketika berubah format menjadi Liga Primer per musim 1992/93, Liverpool sama sekali belum mengecap gelar prestisus itu lagi hingga kini. Miris.

 

Gerrard at Liverpool
Satu-satunya hutang Gerrard saat aktif bermain adalah gelar juara Liga Primer Inggris. Mungkinkah terlunasi, ketika suatu saat nanti melatih Liverpool?

 

Narasi yang beredar ketika kita membicarakan Liverpool adalah tentang gelar juara Liga Inggris yang tak kunjung didekap. Dan hal itu pun seakan termitoskan. Liverpool sangat sulit menjuarai Liga Inggris.

Masa bakti Gerrard selama 17 tahun di Liverpool sebagai pemain profesional, sama sekali tak dihiasi dengan yang namanya gelar juara Liga Inggris. Sesuatu yang pasti juga didambakan seluruh Kopites dimanapun berada.

Mitos Liverpool yang kesulitan menjuarai Liga Primer pun semakin terasa perih ketika status sebagai penguasa Inggris dengan 18 titel liga, diambil alih Manchester United yang bahkan mampu mereka genapkan jadi 20 titel di musim 2012/13. Padahal selama Gerrard memimpin Liverpool, dua kali dia merasakan dekat (menjadi runner-up) dengan gelar juara liga yang didamba. Pertama pada musim 2008/09 dibawah manajer Rafa Benitez dan dan musim 2013/14, di era Brendan Rodgers.

Kesempatan terbaik Gerrard adalah musim 2013/14 lalu. Liverpool bermain luar biasa di Liga Primer kala itu dan rasa-rasanya akan juara. Namun peristiwa fenomenal terpelesetnya Gerrard sendiri, pada laga versus Chelsea musim itu lah disebut-sebut membuyarkan peluang mereka untuk juara.

Mitos yang ia dan segenap elemen di Liverpool dibuat penasaran akan gelar juara Liga Primer, akhirnya gagal terpatahkan. Ditambah peristiwa “Crystanbul”, dari keunggulan 3-0 menjadi 3-3 kala bersua Crystal Palace semakin memperjelas bahwa antara Liverpool dan gelar juara Liga Primer adalah jodoh yang seakan sulit dipertemukan.

Gerrard sendiri pun merasa masih terhantui akan peristiwa terpeleset itu beberapa tahun setelahnya. Betapa ia masih tak bisa melupakan kejadian itu terbukti walau ia sudah pindah ke LA Galaxy pada 2015 lalu. Kepada The Guardian, dia menjelaskan, “Peristiwa terpeleset itu terjadi di waktu yang buruk, dan itu terasa kejam bagiku secara personal”.

Gerrard bergabung dengan LA Galaxy pada Januari 2015, hanya berjarak beberapa bulan pasca kisah memilukan di akhir-akhir musim 2013/14. Apakah Gerrard tak kuat dengan derita yang ia alami ketika gagal membawa Liverpool juara, hingga harus pindah ke LA Galaxy? Entah lah, hanya Gerrard dan Tuhan yang tahu rahasia itu. Tetapi jelas bahwa berat beban dirasakan Gerrard, sebagai legenda Liverpool di era sepak bola modern yang gagal antarkan Liverpool memecahkan mitos menjarai Liga Primer.

Hijrah ke Amerika Serikat, Gerrard juga dihadirkan untuk melawan mitos lain yang ada. Seperti rekan senegaranya, David Beckham, alasan LA Galaxy mendatangkan Gerrard adalah untuk mengdongkrak popularitas sepak bola di negeri Paman Sam tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mengharapkan rakyat Amerika Serikat menggilai sepak bola selayaknya orang Eropa, hanyalah mitos belaka. Namun, belum terangkatnya sepak bola sebagai olahraga nomor satu disana hingga kini, juga bukan kesalahan Gerrard. Lagipula, mendatangkan mega bintang seperti Beckham atau Ibrahimovic pun belum tentu bisa merubah selera orang disana yang lebih gemar terhadap Basket atau American football.

Kembali ke soal Gerrard dan Rangers. Kedepan, selain mematahakan mitos dengan cepat berupa dominasi Celtic di Skotlandia, Gerrard juga dihadapkan pada persoalan yang paradoks; tentang rivalitas Rangers dan Celtic.

Sejarahnya, dahulu Celtic dibentuk sebagai salah satu wadah persatuan orang-orang Katolik, yang menunjukkan eksistensinya di Skotlandia dengan cara melalui sepak bola. Sebaliknya, propaganda keagamaan Kristen Protestan dikobarkan oleh mereka yang menggemari Rangers. Dan kita tahu, rivalitas dua sekte itu sangat lah tajam di Skotlandia pada masa lampau.

Dan isu sektarian ini kerap dijadikan bumbu bagi rivalitas kedua klub. Bagi orang-orang Skotlandia, Celtic vs Rangers bukan hanya perkara siapa yang lebih baik di kota Glasgow. Namun juga soal persaingan antara Katolik vs Protestan.

Dahulu jajaran klub dan pemain-pemain Celtic haruslah orang Katolik, begitu juga Rangers yang menggariskan elemen di klubnya dari golongan Protestan. Bahkan, tak jarang sebuah perusahaan tak menerima pelamar kerja hanya karena sang bos perusahaan beda preferensi soal klub mana yang dibela.

Gerrard adalah seorang katolik, bahkan ada yang mengabarkan dia Katolik yang taat. Bekerja di klub yang bersentimen negatif dengan kepercayaannya, tentu bisa membuat orang mengalami pergolakan pemikiran dan batin.

Mungkin akan berkebalikan andai Steven Gerrard berperangai semacam Lorenzo Amoruso, mantan pemain Rangers asal Italia. Dia seorang Katolik, namun senang dengan hujatan-hujatan dari fans Rangers terhadap kepercayaannya sendiri, yang sebenarnya ditujukan ke sang rival Celtic.

Namun, untuk saat ini sepertinya situasi cenderung lebih baik. Dari elemen suporter, baik di Celtic atau Rangers mungkin masih mempertahankan sentimen masa lalu tersebut hingga kini. Namun di tingkat klub hal itu sudah tak relevan.

Celtic kini diisi jajaran klub dan pemain-pemain Protestan, begitu juga Rangers yang kini banyak menggunakan tenaga direksi dan pemain Katolik. Sehingga, isu Katolik-Protestan dalam rivalitas Celtic vs Rangers sepertinya tak lagi menjadi mitos atau persoalan pelik bagi Gerrard.

Yang lebih krusial bagi diri Gerrard adalah meruntuhkan mitos akan dominasi Celtic dan membuktikan diri bahwa dia punya kapabilitas sebagai seorang juru taktik.

Apakah di Rangers nanti, perjuangan dari seorang Steven Gerrard untuk mematahkan mitos-mitos yang berkelindan dalam segenap perjalanan karier di dunia sepak bola, akan berujung klimaks? Itulah yang akan kita lihat dengan seksama kedepan, berhasil atau tidaknya Steven Gerrard yang seakan selalu berhadapan dengan mitos-mitos dalam kehidupan sepak bolanya.

Sumber foto irishtimes.com

Tak ada Rotan, Akar pun jadi versi AS Roma

Bagi sebuah klub sepakbola, menggunakan jasa direktur olahraga sudah bukan rahasia lagi. Meski urusan transfer bisa dibebankan kepada pelatih, pos direktur olahraga dirasa semakin penting dalam sepakbola modern kini yang penuh kerumitan dalam birokrasi. Jabatan direktur olahraga (sporting director) dalam struktur manajemen akan diberi tupoksi untuk mengurusi lalu lintas transfer pemain.

Bila berbicara direktur olahraga, salah satu yang disebut-sebut sangat mumpuni adalah sosok yang disebut “Monchi”. Pria asal Spanyol bernama asli Ramon Rodriguez Vardejo itu menjabat direktur olahraga AS Roma kali ini. Pernah santer dirumorkan bakal digamit oleh klub besar seperti Real Madrid dan Liverpool, tentu menunjukan kalau orang ini bukan nama direktur olahraga sembarangan.

Sebelum ke AS Roma, karir Monchi sebagai direktur olahraga mulai benderang di Sevilla sejak 2000. Klub asal wilayah Andalusia inilah klub pertama yang merasakan servis Monchi sebagai direktur olahraga. Kecemerlangan Monchi sudah teruji dengan mendatangkan banyak pemain harga miring namun dijual mahal beberapa tahun kemudian setelah tampil bagus di Sevilla.

Sebut saja Daniel Alves, Adriano, Ivan Rakitic, Carlos Bacca, Gregorz Krychowiak, Geoffrey Kondogbia atau Kevin Gameiro. Nama-nama diatas yang direkrut semasa Monchi menjabat direktur olahraga Sevilla, menghasilkan pundi-pundi euro yang banyak bagi klub. Itu pun masih ditambah kesuksesan Monchi menaikan harga pemain-pemain potensial dari akademi seperti Jose Antonio Reyes, Sergio Ramos dan Jesus Navas dengan harga yang selangit.

Selain jaringan pemandu bakat yang sangat luas, keberadaan master transfer seperti Monchi sangat krusial bagi Sevilla yang tak punya kondisi finansial hebat seperti klub-klub besar. Monchi adalah jaminan bagi Sevilla untuk tetap kompetitif dengan pemain bagus, namun yang berharga murah. Empat trofi Liga Europa yang Sevilla rengkuh dengan pemain-pemain hasil kerja transfer Monchi adalah bukti tak terbantahkan lagi.

Saat ini kepindahan Monchi ke AS Roma tentu memicu antusiasme tinggi dari fans. Sudah sangat lama trofi scudetto belum singgah lagi ke ibukota Italia, sejak terakhir kali pada tahun 2001 lalu. Kedatangan Monchi memicu gairah baru yang seakan menandakan Roma siap menjadi penantang serius gelar juara.

Bergabungnya sosok yang menjadi kiper sebelum pensiun ini diharapkan mampu memberi kestabilan bagi Roma, terutama dalam usahanya meraih berbagai trofi prestisius dan juga membangun reputasi sebagai klub yang mapan. Tetapi membaca gelagat kedatangan Monchi ke AS Roma, sebenarya harapan menjadi juara dan terutamanya Serie A, belum akan datang dalam beberapa musim kedepan.

Seperti diketahui, AS Roma dibawah presiden orang AS berdarah Italia, James Pallotta, sedang melancarkan proyek pembangunan stadion baru. Tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk merampungkan hal itu.

Jika dirunut, maka pertemuan Monchi yang punya rekam jejak pencari pemain murah untuk dijual mahal dengan Roma yang sedang butuh dana pembangunan stadion akan menghasilkan sebuah premis bahwa; Monchi didatangkan untuk menstabilkan keuangan AS Roma terlebih dahulu, bukan langsung menargetkan trofi.

Bukti awal sudah kentara, ketika pilar inti seperti Mohamed Salah dilego ke Liverpool dengan mahar 39 juta pounds. Tak cuma itu, pemain-pemain penting lain juga santer sedang dipertimbangakan untuk dijual. Kostantinos Manolas dan Antonio Ruediger masing-masing diisukan ke Zenit St. Petersburg dan Internzionale dan Chelsea. Yang juga membuat miris, Radja Nainggolan kabarnya akan direkrut Manchester United. Jika kesemua berita itu benar-benar terealisasikan, akan benar-benar menjadi kehilangan besar bagi AS Roma.

Tugas Monchi disinyalir akan meneruskan tradisi direktur olahraga Roma sebelumnya, Walter Sabatini untuk mencari pemain muda yang murah dan kemudian dijual semahal mungkin seperti Erik Lamela, Marquinhos, dan Miralem Pjanic.

Peluang demikian semakin kentara ditambah faktor pelatih baru Roma, Eusebio Di Francesco yang menggantikan Luciano Spalletti, adalah orang yang mengorbitkan talenta-talenta hebat “tak bertuan” semasa di Sassuolo. Nama-nama didikan Di Francesco yaitu Domenico Berardi, Nicola Sansone, Gregoire Defrel, Matteo Politano dan Lorenzo Pellegrini.

Melihat kabar mercato sejauh ini (6 Juli 2017), pemain-pemain yang sudah didatangkan ke Roma juga bukan nama besar. Perjudian besar Monchi lakukan jika Hector Moreno (PSV) dan Rick Karsdrop dari Feyenoord jadi menggantikan Manolas dan Ruediger, yang sudah sangat nyetel di Serie A. Kontrak Wojciech Szczesny juga belum punya kepastian karena Roma masih punya kiper internasional Polandia yang lain, Lukasz Skorupski (dipinjamkan ke Empoli).

Untuk menggantikan Mohamed Salah, Roma dikabarkan menghubungi sayap andalan Stoke City, Xherdan Shaqiri. Tetapi melihat reputasinya, Shaqiri bukanlah pengganti sepadan Salah, lagipula Shaqiri pernah gagal ketika di Italia bersama Internazionale.

Selain itu Roma dikabarkan memulangkan Lorenzo Pellegrini dari Sassuolo. Calon gelandang masa depan Italia ini merupakan produk akademi AS Roma. Kedatangan Pellegrini terhitung penting disamping penambahan kualitas tim. Pellegrini akan mengguatkan kembali komposisi putra asli Roma, yang saat ini hanya ada dua di tim; Daniele De Rossi dan Alessandro Florenzi pasca kepergian il capitano Francesco Totti.

Cenderung adem ayem tidak mengincar nama besar di bursa transfer dan justru akan menjual aset-aset terbaiknya, menjadi bukti bagaimana kejelasan rencana Roma bersama Monchi; menuai profit dari pasar transfer. Pembangunan stadion yang memakan dana besar menjadi alasan kuat AS Roma membutuhkan seorang juru transfer seperti Monchi. Diharapkan orang ini mencari bakat yang tidak terlalu terekspos (harga murah) kemudian menjual mahal beberapa tahun kemudian.

Bagi fans AS Roma, tentu muncul rasa kecewa dengan langkah klub dalam bursa transfer di pertengahan tahun 2017 ini. Bukannya memperkuat tim yang sudah mulai stabil, justru kembali bongkar pasang susunan pemain yang terjadi.

Sulit bagi Roma mengulang prestasi musim lalu (runner-up), belum lagi musim depan Roma kembali berlaga di Liga Champions. Dengan langkah transfer yang sangat jauh dari memuaskan sampai saat ini, apakah Roma akan tetap bertaji di Serie A sekaligus di Eropa? Sepertinya sulit terjadi, walau sekedar hanya membayangkan.

Kalau hanya mencari pemain murah yang kemudian dijual mahal, tak perlu repot mengkontrak Monchi sebagai direktur olahraga, Walter Sabatini saja sudah cukup bagi Roma. Erik Lamela, Marquinhos, Pablo Osvaldo dan Miralem Pjanic bukan primadona transfer kala didatangkan Sabatini, namun nyatanya kemudian berhasil dijual dengan harga yang terhitung mahal.

Kevin Strootman, Radja Nainggolan, Kostantinos Manolas, dan Antonio Ruediger “belum pemain jadi” ketika didatangkan, namun yang pasti saat ini, untuk merekrut mereka dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu Sabatini juga berhasil menemukan bibit-bibit muda menjanjikan semacam Leandro Paredes dan Emerson Palmieri.

Pada akhirnya, antusiasme yang muncul ketika awal kedatangan Monchi akan menguap begitu saja dengan melihat gelagat Roma di pasar transfer saat ini. Impian untuk menyaingi Juve dalam perburuan scudetto harus kembali dipendam oleh tifosi Roma, apalagi berbuat banyak di Liga Champions.

Scudetto sepertinya belum akan bertambah di lemari trofi AS Roma, meski baru saja kedatangan direktur olahraga baru yang sangat mumpuni. Pertautan antara si jenius Monchi dalam mencari pemain murah untuk dijual mahal, dengan Roma yang butuh dana pembangunan stadion dalam jangka waktu panjang, menjadi argumentasi logis untuk meragukan Roma bakal scudetti dalam beberapa musim kedepan.

Setidaknya jika tifosi Roma sukar untuk berharap pada cita-cita scudetto, masih ada trofi lain yang sering mantan klubnya Monchi dapatkan, yakni Liga Europa. Sevilla pernah empat kali menyabet gelar juara Liga Europa dengan pemain-pemain rekrutan Monchi dahulu kala. Bagi Roma barangkali peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi” dengan keberadaan Monchi seharusnya berarti “tak ada scudetto, Liga Europa pun jadi”.

Sumber foto dari Gazzetta.it

Upin & Ipin dan Tsubasa; Otokritik Tayangan Bola Anak di Indonesia

Serial animasi anak-anak Upin & Ipin populer tidak hanya di tempat asalnya, Malaysia tetapi juga di negeri kita, Indonesia. Cerita dalam Upin & Ipin ini pun tidak terlalu berat, karena hanya berkutat latar kehidupan sehari-hari seperti bersekolah, beribadah ataupun anak-anak yang bermain.

Upin & Ipin mudah digemari karena cerita yang kontekstual dengan kegiatan sehari-hari anak-anak dan juga hal-hal jenaka didalamnya. Animasi garapan rumah produksi Les’ Copaque yang mulai dirilis pada 2007 ini bernuansa pedesaan dan menggunakan bahasa Melayu serta menonjolkan berbagai kebudayaan khas Malaysia.

Demi menembus pangsa Asia Tenggara dan salah satunya untuk lebih mendekatkan diri dengan anak-anak Indonesia, dimasukkan lah karakter anak asal Jakarta, Susanti yang sering berbahasa Indoesia dan menonjolkan hal yang identik ke-Indonesia-an. Maka jadilah Upin & Ipin semakin mendapatkan tempatnya dalam benak pikiran orang, terutama anak-anak Indonesia.

Selain bahasa Melayu yang membuat Upin & Ipin ini unik dimata orang Indonesia, serial kartun ini juga tidak ketinggalan menyisipkan nilai budi pekerti dan semangat mengejar cita-cita. Padahal, hal-hal seperti itu sudah jarang dirasakan, terutama tontonan untuk anak-anak Indonesia. Tergerusnya tontonan khusus anak secara gradual beberapa tahun ini, harus menjadi catatan penting untuk kita semua. Anak-anak di Indonesia pada saat ini, sebenarya kurang tontonan berkualitas yang sarat akan nilai positif dalam membentuk karakter.

Demi mengejar rating televisi, banyak tontonan anak di Indonesia yang dikurangi serta tergantikan tontonan berkonten dewasa. Terkait dengan dunia sepakbola, serial anime anak-anak seperti Upin & Ipin pun bisa dijadikan sebagai otokritik (kritik atau refleksi diri) untuk tayangan anak-anak di Indonesia, khususnya yang bertema sepakbola.

Dalam sebuah serial season 4 pada salah satu bagian di episode “Anak Harimau” bagian pertama, ada cerita dimana karakter-karakter dalam Upin & Ipin itu heboh membicarakan tentang sepakbola, khususnya Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Yang mengena dari cerita tersebut adalah bagaimana animasi Upin & Ipin, mengkonstruksi rasa nasionalisme untuk sepakbola Malaysia (beserta kritiknya). Kemudian tayangan itu mengedukasi anak untuk bercita-cita menjadi pemain timnas Malaysia. Tak lupa di episode ditampilkan cerita lain yang berkaitan dengan hal-hal berbau sepakbola yang bertujuan menyambut event olahraga empat tahunan tersebut.

Ceritanya di episode tersebut, ketika para orang-orang dewasa bertemu di warung Paman Mutu, mereka membicarakan Piala Dunia di Afrika Selatan yang hampir dimulai. Ketika berdialog tentang siapa yang akan menjuarai Piala Dunia, Upin & Ipin kompak menyebut Malaysia. Sontak saja kelakar mereka ditertawai oleh Wak Dalang, kakeknya Upin & Ipin sendiri. Wak mengatakan bahwa timnas sepakbola Malaysia belum mampu masuk Piala Dunia, mentok hanya sampai Olimpiade saja, kata dia.

Akibat pernyataan sang kakek itu, Upin & Ipin jadi bingung dan penasaran kenapa Malaysia tidak mampu masuk Piala Dunia. Kemudian hal itu begitu terngiang dikepala mereka, hingga kemudian diceritakan begitu sampai di sekolah, yang sampai-sampai membuat heboh suasana kelas.

Apa yang Upin & Ipin dkk bicarakan lalu didengar oleh Cek Gu (guru kelas), sesaat ketika dia akan datang guna mentertibkan kelas. Cek Gu mengatakan bahwa anak-anak tak perlu kecewa karena tak dapat ke Afrika Selatan, toh bisa nonton Piala Dunia di tv tanpa harus kesana.

Kemudian Cek Gu berujar bahwa jika anak-anak tekun belajar dan bersungguh-sungguh menjadi pemain bola, mereka bisa bermain untuk timnas Malaysia suatu kelak. Anak-anak pun berteriak penuh semangat dan bergumam ingin menjadi pebola hebat kelak suatu hari nanti. Ini adalah bentuk penanaman nilai bagi penonton (anak-anak) bila mereka rajin belajar dan serius menggapai cita-cita, masa depan (sebagai pebola akan cerah dikemudian hari). Kemudian bergantilah scene ketika Upin & Ipin cs bermain sepakbola dengan kertas.

Apa yang diceritakan di Upin & Ipin pada season 4 “Anak Harimau” bagian pertama seharusnya dijadikan otokritik untuk indoktrinasi cinta sepakbola bagi anak-anak di Indonesia. Daripada Indonesia hanya tertegun akan kelucuan dan keunikan Upin & Ipin, seharusnya bangsa ini (melalui film, kartun atau animasi anak-anak) juga bisa melakukan hal yang sama untuk sepakbola Indonesia, sepeti apa yang Upin & Ipin lakukan terhadap sepakbola Malaysia; mengedukasi anak-anak dengan sepakbola sejak dini.

Dalam episode 4 “Anak Harimau” itu, anak-anak diajak oleh Upin & Ipin untuk menyadari fakta tentang ketertinggalan sepakbola mereka (sebuah kritik sosial tentunya) dan berusaha membangkitkan kecintaan akan sepakbola dengan sembari menanamkan rasa nasionalisme terhadap negaranya, Malaysia. Upaya Upin & Ipin untuk membentuk kesadaran dan kecintaan anak-anak pada sepakbola, pun ditambahi dengan menampilkan adegan anak-anak bermain sepakbola kertas di kelas akibat demam Piala Dunia.

Otokritik bagi kita adalah menyadari bahwa hal-hal semacam yang ada di Upin & Ipin episode 4 “Anak Harimau” bagian pertama itu sudah jarang muncul di Indonesia. Sekalipun ada beberapa tontonan anak bertema “sepakbola” seperti Ronaldowati dan Si Madun. Penanaman cinta pada sepakbola yang dibalutkan nasionalisme melalui tontonan anak hampir mustahil ditemui akhir-akhir ini.

Untuk membentuk karakter generasi bangsa yang sadar jiwa nasionalisme dan cinta sepakbola, seyogyanya dimulai sejak di usia dini. Toh, patut disadari dalam membentuk kepribadian seorang anak, harus pula dimulai ketika seseorang masih kecil sehingga proses indoktrinasi lebih kuat.

Melihat kondisi terkini, tontonan bertema sepakbola untuk anak-anak sangat jarang ada. Ronaldowati dan Si Madun sudah tidak ada dan Tsubasa sudah jarang muncul di layar kaca. Itupun kalau boleh jujur, tontonan seperti Ronaldowati atau Si Madun hanya menonjolkan kesan action semata, kurang maknawi akan penanaman nilai-nilai kehidupan dan cinta sepakbola, seperti apa yang ditunjukkan Upin & Ipin dan juga Captain Tsubasa.

Upin & Ipin, meski adalah tontonan anak-anak yang sangat ringan, tetapi melalui tayangan dalam episode 4 “Anak Harimau” bagian pertama itu, jelas menjadi gambaran bagaimana Malaysia punya keinginan kuat membangkitkan sepakbola. Caranya? Dimuali dengan mengedukasi anak-anak agar peduli dan cinta sepakbola sekaligus negaranya dalam waktu yang bersamaan.

Kemudian beralih ke anime Jepang dengan simulasi karakter Captain Tsubasa Ozora yang begitu semangat nan gigih meniti karir sepakbola setinggi langit. Hal ini juga mencerminkan besarnya semangat bangsa Jepang (seperti Tsubasa) untuk menunjukan kekuatan sepakbola mereka pada dunia.

Dalam tontonan sepakbola anak Indonesia seperti Ronaldowati dan Si Madun, sebenarnya tetap ada nilai-nilai yang bisa dijadikan pelajaran penting. Namun itu tidak sebanding dan sering tertutupi dengan aksi-aksi tak logis dalam cerita (yang konon lebih penting untuk rating tv semata).

Selain terkadang valueless, Ronaldowati dan Si Madun dalam ceritanya juga lebih sering memainkan sepakbola “antar kampung” (tarkam). Berbeda dengan Tsubasa yang menampilkan gambaran kenyataan nan alami dalam sepakbola seperti; bermain di sekolah, kemudian di tingkat klub, pindah ke luar negeri, main di timnas Jepang dan masuk Piala Dunia. Tsubasa mengajarkan untuk berani bercita-cita melanglang buana ke dunia, karena sepakbola itu global.

Ketika anak-anak Jepang diinspirasi oleh “karir cemerlang” Tsubasa sebagai pebola yang mendunia, disatu sisi layakkah anak-anak di Indonesia (dalam cita-citanya menjadi pesepakbola) terinspirasi juga oleh “karir” Madun yang cuma main sepakbola antar kampung?

Bahkan (parah) sampai-sampai menyelam ke lautan dan membongkar harta karun yang tak ada kaitan dengan kenyataan dalam dunia sepakbola? Apakah mindset yang kurang berani “mengglobal” ini, juga merupakan cerminan khas pemain-pemain Indonesia yang tidak betahan dan terlihat kurang endurabilitas-nya ketika main di luar negeri?

Selain kurang luas dalam mengkesplorasi cakrawala dunia sepakola, adegan-adegan dalam cerita di dua film anak sepakbola Indonesia itu pun terlalu sering mengada-ngada dan terlalu jauh kesannya dengan “sepakbola”. Terkadang fantasi pada tontonan sepakbola anak di Indonesia berlebihan.

Bisa diperbandingkan, ketika Jepang mendidik ingatan dan semangat anak-anak terhadap sepakbola dengan tontonan perjuangan pantang menyerag ala Tsubasa yang bercita-cita main diluar negeri serta membela timnas Jepang, sedangkan Malaysia mengemas propaganda nasionalisme dan sepakbola melalui serial animasi macam Upin & Ipin untuk budak-budak (anak-anak) di negeri jiran itu, bagaimana dengan Indonesia?

Saya bukan tidak suka dengan tayangan (Ronaldowati dan Si Madun) itu, karena saya pun pernah menonton dan terhibur karenanya. Tetapi sebatas terhibur, itu saja. Tak ada nilai-nilai kehidupan yang benar-benar coba disuguhkan pada generasi muda kita, selain aksi sepakbola magis atau sihir (sangat hiperbola) saja didalamya. Pun fakta tak menyenangkannya lagi, sangat jarang ada tontonan bola anak saat ini dari stasiun-stasiun televisi Indonesia.

Gairah sepakbola Indonesia harusnya digerak-bangunkan sejak usia dini melalui tontonan sepakbola anak, untuk membentuk generasi Indonesia yang benar-benar menjiwai sepakbola plus rasa nasionalisme secara disaat yang bersamaan.

Melalui Upin & Ipin dan Captain Tsubasa, sejenak menjadi cerminan kalau bangsa ini perlu membentuk kesadaran dan kecintaan pada sepakbola dan rasa nasionalisme sejak dini melalui tontonan berkualitas. Semoga dengan menyadari antusiasme tinggi bangsa Indonesia akan sepakbola, akan segera muncul tontonan sepakbola anak yang “layak”, bagi generasi baru bangsa ini. Semoga.

Sumber foto: Republika.co.id

Menjiwai Kampanye Support Your Local Club dengan Bijak

Ketimpangan pembangunan antara pusat-pusat pemerintahan dan daerah begitu terasa. Terlebih ketika sebuah negara dikelola dengan sistem yang sentralistik, zaman Orba bisa dikatakan seperti itu. Dahulu kala daerah tidak memiliki banyak ruang untuk mengekspolarasi diri mereka karena semua dikendalikan oleh pusat.

Namun seiring bergantinya rezim dan munculnya era baru, reformasi, arah pembangunan nasional mengalami semacam “deflected”. Daerah pun kini menjadi tumpuan dalam pembangunan bangsa Indonesia ini.

Diberlakukanya otonomi daerah dengan payung hukum UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU nomor 11 tahun 2014 tentang Desa, setidaknya menjadi semacam katalis bagi daerah agar dapat mengelola “dirinya sendiri”, begitu juga desa dengan besarnya gelontoran dana desa saat ini.

Bagai terilhami, semangat reformasi bernuasa demokratis dan menjadikan daerah sebagai pilar pembangunan bangsa ini, juga sepertinya meresap dalam relung dunia sepakbola tanah air. Munculnya kampanye “Support Your Local Club” barangkali dijadikan padanan-nya.

Seruan “Support Your Local Club”, begitu nyaring terdengar akhir-akhir ini. Tidak lain berujuan demi membangun dan menyemarakkan sepakbola Indonesia di level nasional, maka sepakbola juga harus dibangun, disadari, dirasakan dan dinikmati eksistensinya di tingkat daerah-daerah.

Meski, terkadang orang mengekspresikan jiwa sepakbolanya, bukan dengan jalan mendukung klub daerahnya. Bahkan ada yang cenderung lebih memilih bereuforia dengan membanggakan klub-klub luar negeri, tidak mengapa karena itu pilihan. Lagipula seperti apa kata Bob Marley,  football is freedom.

Terkait kampanye ini, maka sepakbola wajarnya diinisiasi dari daerah, karena seperti apa bentuk dan wajah sepakbola (nasional) Indonesia ini, juga sangat bergantung dari bagaimana-nya perkembangan sepakbola di daerah. Linier, seperti konsepsi atau wacana tentang pembangunan nasional yang berorientasi daerah, bukan?

“Support Your Local Club” atau bahasa Indonesia-nya, dukunglah klub daerah/asal mu, kini memantik masyarakat di daerah untuk antusias pada klub asal daerahnya sendiri.

Dengan menjadikan klub daerahnya sebagai apa yang sering dinamai “kebanggan”, membuat orang saat ini hari demi hari, makin peduli pada identitas klub kebanggaan daerahnya sendiri.

Seruan untuk mendukung klub asalmu itu muncul dikalangan suporter. Harapan yang diapungkan dari hal ini yaitu dengan mengkonstruksikan rasa bangga, cinta dan peduli pada klub (sepakbola) lokal, maka perkembangan sepakbola “dirumah sendiri” bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Dalam hal ini suporter bisa berekspresi dan mengaspirasikan apa yang mereka rasakan dan inginkan untuk kebaikan klub.

Secara positif, disisi lain ada efek domino pula dari seruan ini, yaitu adanya kemungkinan seruan ini yang secara tidak langsung, bisa mengedukasi para suporter untuk juga peduli pada apa saja dinamika yang terjadi di daerahnya sendiri.

Toh, urusan sepakbola pun tidak melulu bersangkut paut hanya dengan olahraga saja. Ada aspek lain seperti kebijakan daerah ataupun perihal sisi ekonomi yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat awam.

Kini berkat kampanye yang menyerukan “support your local club”, daerah dengan kultur sepakbola yang sebelumnya tidak begitu kental seperti Wonosobo, misalnya. Secara perlahan mulai bangkit dan bertumbuh komunitas-komunitas lokal disana, untuk menunjukkan dukungannya pada identitas klub kebanggaan daerah tersebut, PSIW Wonosobo.

Meski sangat bagus untuk perkembangan sepakbola di keseluruhan wilayah yang ada di republik ini, untuk menjiwai seruan kampanye itu, harus pula dengan bijak. Jangan sampai dalam menjiwai dan memaknai seruan kampanye tersebut, kita justru terjerumus pada tribalisme kedaerahan yang bisa bersifat ultra-ekslusif ataupun membentuk sikap primordialitas (kedaerahan) yang berlebihan.

Tribalisme adalah paham yang mendewakan kesukuan/kedaerahan/primordialitas, serta disisi lain menganggap rendah etnis atau identitas daerah lain.

Sepakbola, dengan perubahan yang begitu cepatnya ini sedari dulu juga tidak lepas dari tribalisme dan nilai-nilai primoridalistik yang berkelindan bersamanya. Sepakbola di tanah Eropa (kiblatnya sepakbola) yang jauh disana juga sedikit banyak berkembang dengan identitas tribal atau primordialitasnya.

Sebagai contoh, bagaimana Bilbao adalah cerminan eksklusifitas Basque, Barcelona dengan identitas Catalonia atau Liverpool FC yang merupakan klubnya scouser -orang yang bicara medok (dialeg) khas Liverpool-.

Hal ini karena tidak lepas sepakbola itu sendiri yang banyak berkembang dengan membawa identitas kedaerahan pada awal mula evolusinya. Maka tidak heran, sekalipun menyebar lewat globalisasi, sepakbola tetap terkunci dengan “khitoh-nya” sebagai identitas yang bersifat kedaerahan masing-masing.

Sepakbola memang menjadi materi pergaulan global, tetapi juga menumbuhkan solidaritas di tingkat nasional maupun daerah-daerah.

Terkhusus di Indonesia pun, bahkan terbentuknya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) juga tidak lepas dari peranan sepakbola yang bersifat kedaerahan. Bagaimana dulu sepakbola dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Madiun, Surakarta, Magelang dan Yogyakarta bersatu padu menamamkan benih perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dengan membentuk PSSI pada 1930 lalu.

Kembali ke pembahasan awal, kampanye Support Your Local Club harus dimaknai dengan bijak. Saat identitas sepakbola daerah harus dijunjung tinggi, namun disatu sisi merealisasikan seruan kampanye ini juga tidak berarti harus menganggap sepakbola daerah lain itu rendah, hina dan harus dimusuhi.

Tribalisme negatif telah muncul dalam sepakbola, manakala memuja identitas sepakbola lokal dan disisi lain begitu merendahkan/menjelek-jelekkan rival sepakbola dari daerah lain, entah apapun yang terjadi.

Kasus oknum suporter di Indonesia yang menghina-hina pemain timnas hanya karena dia merupakan pemain dari klub rival harus menjadi perhatian bersama. Meski saya yakin, kasus semacam ini bisa terjadi dibelahan dunia manapun. Selain itu, tribalisme mengakar dapat memicu situasi tegang antar daerah yang suporter klub sepakbolanya bertentangan.

Sepakbola tanpa rivalitas bagaimana? Pada dasarnya rivalitas dalam sepakbola itu bagus, karena sepakbola tidak akan sampai menarik seperti ini kalau tidak ada rivalitas didalamnya. Tetapi kalau rivalitas itu sudah berubah wujud menjadi permusuhan, maka perpecahan menjadi takdir yang tak bisa dihindarkan.

Mewabahnya tribalisme atau juga prasangka primordial, kalau tidak dimenejemen dengan baik bisa berubah menjadi musibah. Kalau-kalau hal itu muncul dikalangan suporter, sudah tidak asing lagi. Toh, perbedaan-perbedaan itu sudah menjadi keniscayaan kenapa suporter berdiri untuk mendukung klub kebanggaannya masing-masing.

Akantetapi jika tribalisme sepakbola, yang didalamnya membawa rivalitas dan sering kebablasan menjadi permusuhan secara sosio-kultural itu telah menular secara kronis hingga menyebar ke elemen seperti pemain di klub-klub, alarm bahaya bagi sebuah tim nasional.

Untuk meraih prestasi setinggi mungkin, sebuah timnas harus berisikan pemain yang menyatu dan saling bekerjasama dengan baik. Permusuhan yang muncul akibat rivalitas terlalu mendalam di level klub, bisa merusak harmonisasi sebuah timnas.

Spanyol dan Inggris pernah merasakan hal ini. Jika Spanyol punya Iker Casillas-Xavi yang mampu mempersatukan pemain-pemain Madrid dan Barcelona di skuad La Furia Roja, kapten-kapten Inggris tidak mampu meredam perbedaan itu di skuad The Jack Union. Intensitas sepakbola yang begitu tinggi bergairah-nya di Inggris seperti bukan hanya dialami suporter saja, hal itu pun telah dirasakan pemain yang memperkuat timnas Inggris.

Dikatakan oleh Paul Scholes, “ada rivalitas yang sangat besar diantara klub di negara ini (Inggris) dan itu tidak sehat untuk timnas”. Dia pun menambahkan “bahwa kami tidak sekedar bermain sepakbola, kami mencintai klub masing-masing kami berada dan rivalitas itu selalu ada bersamanya”, dilansir dari telegraph.co.uk

Masih menurut Scholes, rivalitas kental antara Manchester United dan Liverpool pernah membuat retak persatuan timnas Inggris dizamannya, yang saat itu masih diperkuat banyak pemain asli lokal dari akademi. Itu pun belum menghitung tambahan rivalitas dengan klub-klub lain.

Inilah salah satu faktor kenapa Inggris selalu kesulitan bermain apik di level internasional. Mencintai identitas klub daerahnya dan justru terlalu larut pada rivalitas sengit antar daerah yang melebar ke permusuhan, buat mereka tidak padu saat berada di timnas.

Disini dapat dikatakan, kebanggan pada sepakbola daerah (klub) sendiri, justru disisi lain memunculkan sentimen negatif pada rival yang tak mampu diredam, padahal kepentingan timnas butuh diutamakan prioritasnya.

Di Indonesia untung saja sentimen itu belum merambah dan masuk ranah pemain yang berada di timnas. Kemunculan berita tentang sentimen ini baru di level suporter, ketika ada oknum suporter dari sebuah klub yang mencaci pemain timnas hanya karena dia bermain bagi klub rivalnya.

Bagaimana jadinya kalau pemain timnas Indonesia kita, tidak akur karena rivalitas klub masing-masing. Sementara dengan situasi adem ayem antar pemain saat ini pun, prestasi timnas kita masih begini-begini saja?

Mungkin banyak pihak berkilah, apa yang dilakukan supoter itu wajar dan merupakan bagian dari kehidupan sepakbola. Tetapi sekali lagi, menjiwai support your local club juga harus dengan dengan prasangka yang objektif dan bijak.

Jangan sampai karena terlalu gegap gempita dalam menjiwai kampanye ini, lalu mengaburkan rasionalitas berpikir dan perasaan kita pada timnas. Menjiwai kampanye yang sangat positif ini hanya akan terlihat elegan apabila di lokasi, waktu dan momen/suasana yang tepat.

Lagipula sepakbola kita yang masih jalan ditempat dengan kekerasan suporter yang masih sering terjadi, timnasnya tak mampu berprestasi dengan gemilang, klub tak mampu gaji pemain, profesionalitas federasi (PSSI) yang masih tanda tanya.

Hal-hal diatas itu yang seharusnya juga, menjadi problem yang tak boleh dilupakan para suporter dan coba untuk diaspirasikan suaranya dengan solusi konstruktif. Disamping hanya mengutamakan urusan rivalitas antar klub, padahal saya yakin, harusnya para suporterlah yang menjadi kunci penggerak untuk perbaikan sepakbola Indonesia ini.

Melalui kampanye Support Your Local Club, besar harapannya suporter akan peduli pada dunia sepakbola yang ada di daerah masing-masing, selain juga teredukasi untuk lebih dewasa dan berpikir kritis mengenai perkembangan sepakbola kita pada umumnya.

Tulisan ini tidak bermaksud memojokkan atau mendukung klub X atau klub Y, tetapi untuk kesadaran bersama saja. Rivalitas antar klub memang alamiah dalam sebuah kompetisi/persaingan dan itu justru yang menarik dalam sepakbola.

Setiap klub beserta para suporter, intinya akan selalu berusaha menjadi yang terbaik daripada yang lain. Sehingga dalam sebuah kompetisi akan muncul rivalitas, hal yang wajar. Namun artian dari kata rival yaitu pesaing, bukan musuh. Karena toh semua elemen sepakbola kita pada akhirnya akan menjunjung panji-panji yang sama, Indonesia.

Bangkitnya suporter, bangkitnya sepakbola Indonesia!

Sumber foto: Redbubble.net

Sepakbola Bukan Lagi Olahraga Buruh/Pekerja?

Quote Cantona tentang Working Class
Dukungan Eric Cantona untuk working class atau golongan pekerja/buruh dalam dunia sepakbola.

Hidup kaum buruh! Kita pekikkan bersama atas diperingatinya hari buruh sedunia di setiap tanggal 1 Mei.

Sudah seyogyanya kita perduli nasib kaum buruh/pekerja, walau berkat tangan-tangan mereka ini membuat kebutuhan sehari-hari manusia bisa terpenuhi, terkadang mereka diekspoitasi terlalu dalam oleh kaum pemodal.

Banyak para buruh pun berkeluh kesah tentang apa yang mereka alami, meski tak bisa meninggalkan peraduannya itu, karena hanya dari sana mereka coba gantungkan hidup dirinya atau keluarga selama ini. Sungguh betapa malangnya mereka para buruh di negeri ini.

Saya bukan pecinta gagasan yang bermateri kekirian, atau dikatakan biasa saja. Terlebih, pun belum banyak literatur leftish yang sudah saya baca selama ini. Tetapi memang kita sering mendengar sendiri bagaimana kurang diperhatikannya hak-hak buruh/pekerja kita selama ini.

Apalagi ketika mendengar rekan yang bercerita tentang sutuasi-kondisi pekerjaan, yang kadang tak setimpal dengan beratnya beban kerja serta resiko kerja yang harus dihadapi. Setidaknya muncul rasa simpati dan ikut berempati. Toh, seperti apa yang dikatakan oleh Che Guevara “Jika hatimu bergetar melihat ketidakadilan, maka engkaulah kawanku”.

***

Beribu-ribu mil yang jauh dari Indonesia, pada abad 18 lalu di Inggris raya sana, dimulailah perkembangan sebuah dimensi kehidupan yang kelak akan menyedot atensi banyak umat manusia sejagad, hal itu adalah sepakbola.

Ya, terlepas dari kontreversi siapa yang lebih dahulu menemukan sepakbola, tak bisa dipungkiri kalau sepakbola modern yang kita tonton sampai detik ini berasal dari Inggris. When football were invented in England, demikian orang Inggris dengan bangga ketika menyebut sepakbola “berasal” dari tanah meraka.

Pada masa-masa awal evolusinya, sepakbola identik dengan sebutan working class, apa itu? Bagi yang belum tahu, istilah itu adalah untuk penyebutan golongan kelas pekerja atau buruh di Inggris.

Lapisan masyarakat kelas pekerja itu mulai banyak bermunculan ketika Inggris memasuki era revolusi industri. Definisi dari revolusi industri adalah perubahan corak dari perekonomian berbasis agrikultur/pertanian menjadi pada ekonomi dengan orientasi sektor industri.

Kebetulan, revolusi industri juga dimulai abad 18, dimana sepakbola juga “ditemukan” pada sekitaran abad yang sama. Maka tidak heran, sepakbola yang awal tumbuh kembangnya hampir bersamaan dengan masa revolusi industri, pun bersinggungan dan menghasilkan interkasi budaya dengan kaum pekerja yang populasinya meningkat pesat kala itu.

Meminjam istilah khas milenial; “jadian” atau berpacarannya antara sepakbola dan kaum pekerja dahulu kala inilah, yang menghasilkan kesan bahwa sepakbola adalah olahraga yang dekat dengan kalangan pekerja/buruh.

Memang faktanya banyak klub, lapangan-lapangan bola atau stadion yang didirikan dekat dengan kawasan/kota industri. Maka tidak heran hal itulah yang menyebabkan nuansa kental akan sepakbola begitu menjangkiti wilayah industri di Inggris, seperti contohnya di Liverpool atau Manchester.

Sepakbola pun melekat sebagai olahraganya working class, karena sepakbola sangat lumrah dijadikan sebagai rekreasi atau wahana hiburan oleh kaum pekerja saat itu. Bahwa ada alasan logis dibalik kenapa pertandingan sepakbola sering dimaikan pada akhir pekan, tak lain adalah untuk menarik antusiasme para buruh yang umumnya mendapat waktu libur/rehat pada akhir pekan.

***

Dengan catatan bahwa kaum pekerja dan kelas menengah-bawah jauh lebih banyak populasinya di dalam struktrur masyarakat, maka sepakbola pun perlahan menjadi hal populer nan jamak bagi masyarakat kebanyakan. Bahkan olahraga “si pekerja” ini, gaungnya sampai menembus lapisan masyarakat menengah keatas yang ikut-ikutan pula terhipnotis akan magi olahraga ini.

Namun animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap sepakbola, disamping lebih banyak berdampak positif, ternyata menghasilkan efek negatif pula.

Hal positif adanya sepakbola, selain juga membuka banyak lapangan kerja, dapat pula menjadi perlambang identitas dan entitas harga diri sebuah daerah atau masyarakat dan bahkan kebanggan nasional. Kemudian hiburan yang sangat fantastis ini juga menghasilkan sesuatu yang begitu besar, yakni popularitas.

Sadar bahwa dengan popularitas yang tinggi, sepakbola bisa dikelola sedemikian rupa menjadi pundi-pundi penghasilan, lalu mulailah para pebisnis dengan tumpukan modalnya mengobok-obok sepakbola. Kapitalisme masuk dunia sepakbola, inilah efek buruk akibat animo tinggi masyarakat akan pada sepakbola yang sangat-sangat mudah sekali menghasilkan popularitas ditengah masyarakat.

Dengan popularitasnya, sepakbola diintip oleh para pemodal untuk mengembangkan sayap bisnisnya. Toh selama sistem perekonomian dunia ini masih kapitalisme, yang dikendalikan oleh permodalan atau kapital sebagai corong utama, maka akan begini juga lah terus sepakbola.

Salah satu faktor pelicin kesuksesan bisnis adalah dengan mendompleng popularitas. Sepakbola dengan popularitasnya, menawarkan sesuatu yang amat berharga dimata para kaum pemilik modal. Meski bisnis di sepakbola tidak selalu untung dari sisi finansial, terkadang adapula yang mencari kepopuleran untuk kepentingan politik atau mungkin sekedar memperoleh pengaruh tertentu saja.

Tetapi yang aneh bahwa selama ini kekerasan akibat sepakbola lebih difokuskan menjadi sasaran kritik terhadap olahraga ini. Seperti juga bagaimana Inggris pernah “sedikit” benci olahraga ini pada tahun 80an akibat hoologanisme yang tak tertahan nan brutal.

Padahal, kapitalisme dalam sepakbola jagu harus mendapat porsi kritik yang sama, atau bahkan harusnya lebih karena kapitalisme itu sendiri telah mengencingi sepakbola, yang ironinya adalah olahraga yang “diciptakan” kaum pekerja.

Harus disadari, semakin modernnya dunia dengan kapitalisme yang menyentuh berbagai sendi kehidupan, termasuk sepakbola, maka kapitalisme telah mengubah pula esensi sepakbola itu sendiri yang pada intinya punya nilai suci sebagai olahraga buruh/pekerja atau wong cilik.

Kini sepakbola menjadi olahraga yang mahal dan tidak mudah untuk menikmatinya. Mungkin bisa melalui piranti teknologi seperti tv atau internet, tetapi jauh berbeda dan akan seribu kali lipat lebih bermakna jika menikmatinya secara langsung. Apalagi menikmati sepakbola dengan teknologi mutakhir juga terkadang harus merogoh kocek yang dalam.

Tak hanya kenikmatan menyaksikan sepakbola saja, segala hal yang berkaitan dengan sepakbola masa kini juga harus ditebus dengan nominal yang terkadang begitu tinggi bagi masyarakat golongan mengengah-kebawah, seperti kelas pekerja.

Kini untuk masuk ke stadion, bisa mengeluarkan uang mulai dari puluhan, ratusan ribu bahkan hingga jutaan rupiah. Kalau pekerja dengan rerata gaji perbulan tak sampai satu juta, bagaimana akan melampiaskan gairah sepakbola mereka disetiap minggunya? Belum tentu setiap saat mereka bisa.

Selain menikmati sepakbola kini harus dengan “uang” yang kadang tidak sedikit, beberapa waktu yang lalu muncul pula resistensi terhadap rencana jadwal pertandingan sebuah liga tingkat kedua di Indonesia yang dimainkan tengah pekan. Demi mengakomodir pertandingan liga yang lebih tinggi kasta (yang lebih menjual), pihak pengelola pun liga memilih menggelar liga kedua itu di midweek bukan pada weekend.

Sontak reaksi negatif bermunculan dari kalangan suporter. Untuk mendukung tim kebanggan, mereka jadi terbebani karena sulit membagi waktu untuk ke stadion dan bekerja jika ada pertandingan pada tengah pekan.

Padahal, kalau melihat antusiasme suporter yang kebanyakan adalah kaum pekerja, harusnya pihak pengelola liga tetap mengkondisikan untuk pertandingan akhir pekan. Jika stadion sepi karena klub main di tengah pekan, pemasukan dari tiket stadion juga akan menipis.

Kalau sebuah klub kesulitan mendapat income akibat stadion sepi karena laga justru digelar ditengah pekan, yang kemudian berdampak juga pada tertunda atau bahkan tidak terbayarnya gaji para pemain, bagaimana? Pihak pengelola liga musti memikirkan segala hal dengan alur yang visioner dan bijak.

Untungnya kini penggemar sepakbola makin cerdas, mereka tak mudah dibohongi dan disetir. Sudah banyak dari mereka yang teredukasi.

Contohnya di Eropa, beberapa kali terjadi aksi protes dari suporter terkait kenaikan harga tiket masuk stadion. Di Indonesia, bermunculan penolakan terhadap jadwal liga yang bergulir ditengah pekan dan tidak akomodatif terhadap suporter. Ini bukti penggemar sepakbola juga sudah mulai kritis dalam berlogika hari ini.

Gerakan AMF atau Against Modern Football, telah bergema akibat salah satunya karena makin mahal saja cara untuk menikmati sepakbola ke stadion. Selain itu gerakan tersebut juga mengkritisi sepakbola saat ini yang terlalu dikekang oleh intensitas bisnis dan kapitalistik. Meski disisi lain, banyak pula muncul suara pro-kontra terhadap progresifitas gerakan ini.

Protes dan resistensi suporter atau penggemar sepakbola (yang kebanyakan pekerja atau kelas menengah kebawah), menunjukan masih ada orang-orang yang ingin menjaga “kesucian” sepakbola sebagai olahraga working class.

Begitu juga refleksi untuk pemerhati sepakbola dengan spanduk bertuliskan “Football create by poor, stolen by rich” di laga ketika sebuah klub di Tunisia menjamu Paris Saint-Germain (yang dikuasai kapital Timur Tengah). Betapa memang sepakbola yang awalnya diciptakan untuk kelas menengah-bawah kini pun dikuasai kaum elit.

Padahal disisi lain pernah muncul berita tentang betapa kurang diperhatikannya hak para pekerja-pekerja kasar dalam proyek pembangunan stadion untuk Piala Dunia di Qatar. Betapa miris, jika dahulu kala sepakbola diciptakan oleh kaum pekerja, kini justru demi apa yang dikatakan “sepakbola”, para pekerja (baca: working class) diperlakukan dengan tidak layak demi sepakbola.

***

Sepakbola kini seakan menjadi wahana pertaruhan harga diri. Apakah sepakbola masih akan menyimpan sisa kesucian sebagai olahraga untuk working class  dan menjadi arena rekreasi mereka atau akan tergerus roda kapitalisme yang menguasai dunia? Hanya waktu yang akan menjawab.

Tetapi pada akhirnya, terimakasih dan rasa hormat pantas disematkan pada buruh dan pekerja. Karena berkat mereka lah kini seluruh umat manusia bisa menikmati olahraga terindah sepanjang masa, sepakbola.

Sumber foto: relatably.com dan detik.net

 

Image

Dua Sisi Berlawanan RB Leipzig

Skuad Leipzig 2016/17
Meski punya potensi untuk bisa menandingi dominasi Muenchen, namun RB Leipzig dibenci oleh hampir seantero Jerman.

Rassen Ballsport Leipzig atau biasa disingkat RB Leipzig adalah klub asal Jerman yang namanya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita belakangan ini. Meski baru pada musim 2016-2017 ini promosi ke Bundesliga 1, tetapi pemberitaan tentang mereka sudah menjamur di berbagai media-media sepakbola.

Setidaknya ada dua hal kenapa RB Leipzig sering menjadi sorotan dalam berita sepakbola, khususnya bagi publik Jerman. Yang pertama, berbagai elemen terutama suporter klub-klub di Jerman menuding RB Leipzig telah merusak “tradisi” dalam sepakbola Jerman. Mereka dicerca karena dianggap hanya sebagai ladang bisnis dari perusahaan minuman berenergi asal Austria, Red Bull.

Dulu klub ini bernama SSV Markrandstadt. Andai saja di Jerman tidak ada aturan 50+1 menyoal kepemilikan klub sepakbola, mungkin nama mereka suah berganti Red Bull Leipzig. Yang mengingatkan kita akan klub Red Bull lain semacam; Red Bull Salzburg atau New York Red Bull yang juga dikuasai perusahan milik Dietrich Mateschitz tersebut.

Saking dalamnya intervensi bisnis mereka, bahkan tak cukup nama klub saja, nama stadion, sampai-sampai logo klub pun tidak lepas dari embel-embel dua banteng merah yang jadi ciri khas Red Bull.

Kisah RB Leipzig dimulai tatkala SSV Markrandstadt, klub divisi lima asal Leipzig, Saxony, wilayah timur Jerman dibeli oleh Red Bull. Meski RB Leipzig terhitung muda (berdiri pada 19 Mei 2009), hanya dalam kurun waktu tujuh musim, dengan cepat RB Leipzig melesat dari kasta kelima menuju pentas tertinggi Bundesliga 1.

Begitu cepatnya mereka menuai prestasi tentu tidak lepas dari uang yang digelontokan Red Bull. Sokongan mereka membantu klub merenovasi Zentralstadion dan membangun fasilitas latihan modern, selain juga uang mereka yang dimanfaatkan untuk membeli pemain.

Tetapi meroketnyaa RB Leipzig malahan dibenci oleh publik sepakbola Jerman. RB Leipzig dianggap “plastic club” yang tidak punya nilai historis dalam diri mereka dan hanya dijadikan kepentingan bisnis semata.

Fakta yang terjadi di lapangan sungguh mencerminkan tingginya kebencian terhadap RB Leipzig. Kalangan suporter lah yang paling tegas dalam menyatakan kebencian itu. Mulai dari penolakan untuk nonton langsung timnya saat awayday ke kandang Leipzig, aksi bisu 10 menit pertama saat kesebelasan idola mereka jumpa Leipzig, spanduk kecaman/caci-maki untuk Leipzig dan bahkan lemparan “kepala banteng penuh darah” oleh oknum suporter klub-klub yang sangat benci RB Leipzig.

Berbagai aksi-aksi itu mengkonfirmasi betapa besar kebencian publik Jerman terhadap Leipzig yang telah “murtad” dari nilai-nilai, kebiasaan ataupun tradisi klub Jerman pada umumnya. Tradisi di Jerman, klub adalah milik anggota (fans) dengan aturan 50+1. Aturan ini pada intinya mengatakan 51% saham klub harus dipegang oleh anggota dan sisanya kemudian bisa dimilik oleh investor dari luar klub.

Meski aturan itu tidak berlaku secara baku untuk Wolfsburg dan Leverkusen yang telah lama begitu lekat dengan perusahan otomotif VW dan perusahaan farmasi Bayer.

Aturan 50+1 secara cerdik disiasati oleh Red Bull. Meski tidak melanggar aturan itu, tetapi dengan cara yang sedemikian rupa, mereka mengakali aturan karena bertujuan untuk memegang kendali penuh terhadap RB Leipzig.

Memang secara legal Red Bull hanya punya 49% saham di RB Leipzig. Akan tetapi dari sebelas anggota klub yang ada di tubuh RB Leipzig, semuanya adalah orang-orang yang bekerja di Red Bull. Jadilah mereka pasti selalu “menganggukan kepala” dengan apapun yang kebijakan yang diinginkan oleh Red Bull didalam tubuh RB Leipzig.

Akibat ulah Red Bull ini, tentulah suara fans akan klub kesayangannya akan tereduksi atau bahkan mungkin saja hilang. Dengan kongkalikong dibelakang layar ini, tentu sulit mengharapkan ada suara anggota atau fans yang bisa berdampak secara langsung dalam tubuh kepengurusan sebuah klub. Disamping komersialisasi sepakbola oleh sebuah perusaahan, tertutupnya suara anggota atau fans untuk klubnya itu jua lah yang membuat RB Leipzig sangat dibenci.

Jurnalis asal Jerman, Christoph Biermann pun menuliskan betapa piciknya mereka mengakali aturan yang ada di media. Katanya “sulit membayangkan bagaimana secara gamblang Leipzig melanggar aturan 50+1 tersebut.” dalam majalah 11 Freunde. Red Bull dalam hal ini memang telah keluar jalur dan tidak lagi berpegang pada tradisi klub-klub Jerman selama ini.

Namun ibarat bilah pisau yang bisa “melukai”, pisau juga punya segi yang bermanfaat. Sisi buruk RB Leipzig tentu karena keberadaan Red Bull dalam klub yang merusak tradisi sepakbola Jerman dan menguasai klub hanya untuk untuk jualan minuman.

Tetapi RB Leipzi pun punya tujuan positif dan tentu hal ini baik karena Bundesliga 1 semakin berwarna, inilah hal kedua yang juga menjadikan nama tetap menjadi sorotan

RB Leipzig sering mengedepankan pemain-pemain muda didalam timnya. Mereka pun menetapkan batas usia yang tidak lebih dari 24 tahun, bagi pemain yang akan mereka beli. Dengan skuad muda itu pun mereka sanggup nangkring di papan atas klasemen Bundesliga 1.

Bahkan dikala Bayern masih linglung diawal musim ini, mereka lah yang memuncaki klasemen liga, padahal status mereka ini hanya klub promosi. Selain itu, mereka pun dari Jerman timur, wilayah yang selama ini tertinggal dari segi sepakbolanya dari Jerman bagian barat. Dengan adanya RB Leipzig, gelora sepakbola Jerman timur sedikit banyak akan kembali bergairah kembali, setelah wakil dari sana terakhir kali untuk Bundesliga 1 adalah Energie Cottbus pada 2009.

Bakat-bakat pemain muda RB Leipzig juga diakui kualitasnya. Musim ini nama-nama seperti Emil Forsberg, Timo Werner atau Naby Keita menjadi buah bibir yang dikait-kaitkan dengan berita transfer ke klub-klub besar Eropa. Mereka juga diperkuat oleh Oliver Burke, wonderkid Skotlandia yang sebelumnya memperkuat Nottingham Forest.

Keberadan tim yang dilatih Ralph Hasenhüttl ini pun semacam penyegaran. Setelah bosancuma disuguhi perlawanan Dortmund terhadap dominasi Bayern, kini keberadaan Leipzig yang menyeruak ke papan atas tentu jadi pemandangan indah bagi para pengidam liga yang kompetitif. Apalagi kalau RB Leipzig sukses juara, tentu makin serulah Bundesliga 1 nanti, terlepas dari “keburukan” yang dilabelkan kepada mereka selama ini.

Kini tinggal bagaimana kita memandang Rassen Ballsport Leipzig. Melihat klub ini bagaikan paradoks karena punya dua sisi berlawanan, ada sisi baik dan buruknya. Dari sisi negatif mereka jelas terkait erat akan kapitalisme Red Bull yang terlalu dalam. Hal positif merek yakni menjadi klub kawah candradimuka pemain muda dan tentu saja perjuangan mendongkel dominasi Bayern Muenchen untuk membuat  makin kompetitifnya liga Jerman.

Kalau sudah begini, bagaimana anda memandang RB Leipzig?

Foto: bundesligafanatic.com dan worldfootbal.net

Inilah Kylian Mbappé, Henry Baru

Kylian Mbappé melesakan gol ke gawang Willy Caballero di babak pertama, skor menjadi 1-2 untuk tim tamu AS Monaco. Meski first leg 16 besar Liga Champions (22 Februari) itu pada akhirnya dimenangkan si empunya Stadion Etihad, Manchester City dengan skor 5-3, aksi Mbappé tetap mendapat sorotan tersendiri, apalagi dia masih terhitung anak bau kencur, 18 tahun.

Kecepatan lah salah satu senjata pemain bernama lengkap Kylian Mbappé Lottin ini. Pada laga versus Manchester City itu dia mencetak gol, setelah menerima sodoran bola panjang dari tengah dan mengungguli sprint duet bek mahal Manchester City, John Stones-Nicolas Otamendi yang kalah cepat. Mbappé pun mencetak gol pada leg kedua yang berakhir denagn skor 3-1 untuk kemenangan Monaco.

Mbappé adalah fenomena terkini dari sepakbola Perancis. Dia memulai debut di Les Monéguesqes, julukan AS Monaco, pada laga Ligue 1 antara Monaco melawan Caen, 2 Desember 2015. Otomatis dia jadi pemain termuda AS Monaco yang tampil di pertandingan profesional dalam usia 16 tahun 347 hari, unggul dari legenda Perancis Thierry “Titi” Henry yang memulai debut senior di Monaco pada usia 17 tahun 14 hari.

Dia juga memecahkan rekor lain Henry dengan menjadi pencetak gol termuda AS Monaco ketika menyumbangkan satu gol melawan Troyes pada musim 2015-2016, saat itu Mbappé masih berumur 17 tahun 25 hari. Henry sendiri baru mencetak gol profesional pertamanya pada pertandingan versus Lens 1995 ketika usianya sudah 17 tahun 245 hari.

Belum cukup, pemain yang lahir di Bondy, wilayah dekat Paris pada tanggal 20 Desember 1998 ini, juga mencuri perhatian berkat mencetak hat-trick pertamanya pada laga 16 besar Coupe de Ligue saat melawan Rennes. Laga pada 14 Desember 2016 itu berakhir manis 7-0 untuk Monaco. Dia adalah kreator hat-trick termuda AS Monaco dalam sejarah dan pemain pertama yang mencetak tiga gol dalam satu laga untuk AS Monaco, sejak terkahir kali hal itu dilakukan Sonny Anderson, tahun 1997.

Masih kurang, Mbappé kembali mencetak trigol kedua sepanjang karirnya ketika Monaco menjamu Metz di Stade Louis II dalam lanjutan Liga Perancis. Pertandingan yang digelar pada 11 Februari 2017 ini menjadi saksi calon striker hebat dunia itu menunjukkan kebolehannya. Selain mencetak tiga gol, dia juga bikin 1 asssit di laga tersebut. Situs Whoscored.com pun memberi memberi nilai 10 untuk penampilan fantastisnya di laga tersebut. Kylian Mbappé pun kini sudah masuk skuad senior Perancis.

Munculnya talenta brilian Kylian Mbappé buat raksasa Spanyol, Real Madrid kepincut. Banyak media merumorkan Madrid sudah melakukan pendekatan dan akan merekrut dia pada akhir musim nanti. Hal ini mengingatkan kita pada usaha El Real dahulu ketika akan mencomot striker muda AS Monaco pada 1996, siapa lagi kalau itu bukan Thierry Henry.

Namun upaya Real Madrid kala itu gagal, mereka mencoba jalin perjanjian pra-kontrak dengan Henry, yang waktu itu dia belum mendapat kontrak profesional karena belum berusia 18 tahun. Henry tetap di Monaco, karena ternyata Madrid mendekati Henry justru melalui agen pemain yang belum resmi terdaftar di FIFA, sehingga perjanjian tersebut batal.

Kembali ke Mbappé, jika mampu menjaga kestabilan performa bukan tidak mungkin kedepannya dia benar-benar menjadi Henry baru. Asal berada ditangan yang tepat dan menemukan tempat yang sesuai, Mbappé akan melesat tajam. Sewajarnya pengalaman Henry berikut ini bisa dijadikan referensi berharga bagi dirinya.

Dulu ketika sedang menanjak bersama Monaco dan tim senior Perancis, Henry menerima pinangan Juventus pada 1999. Tapi sayangnya, Henry gagal bersinar karena tidak mampu menghadapi betapa ketat dan disiplinya bek-bek di Italia. Karakter permainan Henry yang stylish justru buatnya tidak mampu berbuat banyak di negeri sepakbola Catenaccio itu.

Malahan mantan pasangan duetnya di Monaco, David Trezeguet yang lebih cocok dalam skema Juventus dan gaya sepakbola Italia. Tidak lain dan tidak bukan, Trezeguet adalah tipe striker penunggu yang oportunistik di depan gawang, seperti gaya striker Italia pada umumya kala itu macam Inzaghi atau Vieri. Adapun Trezeguet baru pindah ke Juve pada 2000, untuk menggantikan Henry yang pergi ke Arsenal pada 1999.

Henry yang gagal di Juve lalu bereuni dengan orang yang telah mengorbitkannya di AS Monaco, Arsene Wenger, namun kali ini di klub Inggris, Arsenal. Henry yang sebelum-sebelumnya adalah winger, oleh Arsene Wenger digeser menjadi penyerang tengah ketika di Arsenal.

Pergeseran posisi itu berbuah sejarah dalam dunia sepakbola, khususnya bagi Premier League dan timnas Les Blues karena Henry bertransformasi jadi striker tajam haus gol. Henry pun hingga kini dikenal sebagai salah satu striker tajam dan salah satu yang terhebat di dunia (catatan 360 gol di semua klub yang pernah ia singgahi) beserta deretan trofi yang ia raih semasa bermain.

Jika ingin menjadi bintang hebat di masa depan, Kylian Mbappé wajib belajar pula dari karir Thierry Henry. Jangan sampai salah pilih klub kedepannya, karena itu sangat vital bagi jalan masa depan pemain yang bersangkutan itu sendiri. Dan juga harus berada di bawah asuhan pelatih yang tepat.

Untung saja, Mbappé kini ditangani pelatih asal Portugal, Leonardo Jardim. Orang ini memang doyan pakai tenaga muda dalam skuadnya. Lihat saja, musim ini pun Monaco pun dipenuhi bakat-bakat muda macam Bernardo Silva, Fabinho, Djibril Sidibé, Benjamin Mendy, Gabriel Boschilla atau Jemerson.

Melejitnya Mbappé juga seolah pertanda, bahwa Monaco memang pintar memoles striker muda. Selain Henry atau Trezeguet, ada pula nama-nama besar seperti George Weah, Ludovic Giuly, Jeremy Menez, dan juga Anthony Martial yang mempesona setelah bergabung dengan Monaco.

Beberapa waktu lalu tidak lupa Arsene Wenger, orang yang menyulap Henry hingga jadi “orang besar”, juga menyampaikan sesuatu perihal Mbappé. Katanya “Dia mirip seperti Henry, punya talenta besar, bermain di Monaco juga seperti Henry” kata bos The Gunners itu, dikutip dari express.co.uk terbitan 3 Februari 2017. Sanjungan yang berakhir dengan pindahnya Mbappé ke Arsenal? Mari kita tunggu.

Dengan karir melesat sejak muda bersama AS Monaco dan memecahkan rekor-rekor Thierry Henry, Mbappé kini dianggap akan menjadi titisannya Henry dimasa depan. Hal lain yang membuat dia layak dinarasikan bagai titisan Henry, tidak lain karena dia tidak hanya bisa bermain di satu posisi. Kalau Henry mahir bermain sebagai winger kiri dan striker tengah, Mbappé malahan lebih baik karena bisa mengisi semua pos lini depan.

Terakhir, Thierry Henry sendiri mengakui bakat yang ada pada memang Mbappé begitu besar. Lalu Mbappé perlu belajar dari pengalaman yang terjadi pada Henry, jangan sampai salah pilih klub dan harus berada dibawah naungan pelatih yang tepat, agar peristiwa seperti Henry yang Juventus tidak terulang. Dan kini waktu pun akan menjawab, apakah Mbappé akan bersinar terang seperti Thierry Henry sediakala.

Sumber foto: metro.co.uk

*Statistik angka dari Opta

Paradoks Saint Totteringham’s Day

Di babak 16 besar Liga Champions, Bayern München menghadapi Arsenal. Sudah ditebak, Meriam London kembali melempem sumbunya ketika bersua The Bavarian di panggung Eropa. Kali ini dengan agregat telak 10-2, meski Arsenal gugur di 16 besar adalah pemandangan yang sebenarnya tak aneh dalam beberapa tahun terkahir.

Rival sekota mereka, Tottenham Hotspurs juga terjungkal dihadapan klub Belgia, KAA Gent dengan agregat 1-2. Bedanya Spurs melakoni laga itu di babak 32-besar Liga Europa, kasta Eropa yang lebih rendah.

Bagi setiap elemen yang ada di Arsenal, pasti sangat berat hati apabila melihat klub-klub pesaing berat, finis lebih tinggi dari mereka di setiap akhir musim atau melangkah lebih jauh di sebuah cup competitions.

Apalagi jika posisi rival satu kota seperti Chelsea atau terlebih-lebih Tottenham, yang lebih tinggi dari Arsenal di akhir sebuah musim Liga Inggris atau melaju lebih jauh di gelaran turnamen. Tapi musim ini Arsenal terseok-seok masuk empat besar, sedangkan Tottenham sangat stabil aman di zona tersebut.

Khusus terhadap sesama klub London Utara, Tottenham Hotspurs, Arsenal selalu finis diatas mereka sejak 1994/95 hingga musim 2015/16 lalu. Sudah dua dekade ini mereka selalu lebih superior terhadap tetangga terdekatnya tersebut hingga melahirkan istilah unik, Saint Totteringham’s Day.

Saint Totteringham’s Day adalah hari dimana pendukung Arsenal atau yang biasa disebut Gooners, bersuka cita mana kala tau bahwa tim idola mereka dipastikan finis diatas Spurs. Istilah ini dimunculkan pertama kali oleh situs Arseneweb.com pada 2002.

Musim lalu Saint Totteringham’s Day sangatlah epik. Di gameweek terkahir, Tottenham dilumat 5-1 oleh Newcastle sedangkan disisi lain Arsenal menang 4-0 atas Aston Villa.

Arsenal yang hampir selalu dibawah Tottenham (terutama paruh kedua musim lalu), secara dramatis mendahului Tottenham pada pekan terkahir tersebut. Meski gagal juara dan hanya nangkring di posisi dua, hasil itu setidaknya masih menyisakan senyum di bibir para pendukung setia Arsenal.

Tidak hanya suporter, dari pemain hingga mantan pemain Arsenal juga tidak luput ikut merayakan Saint Totteringham’s Day lewat sosial media musim lalu itu. Saint Totteringham’s Day sendiri biasa diperingati Mei atau April, waktu dimana kompetisi biasanya mendekati pekan-pekan akhir.

Tapi itu hal yang paradoks, Saint Totteringham’s Day ibarat “prestasi” namun disaat bersamaan juga tak berarti apa-apa, rasanya semu sekali. Lagian, semisal mengungguli Tottenham di Premier League, itu tidak berarti spesial. Toh selama ini Tottenham juga tidak pernah juara Liga Inggris sejak 1961. Ya, kan?

Arsenal sendiri, terakhir juara yakni musim 2003/2004, dimana saat itu Arsenal masih jadi salah satu kekuatan yang sangat diperhitungkan di Inggris. Selanjutnya, tak pernah ada lagi kapten Arsenal yang angkat trofi liga diakhir tiap musim sampai saat ini.

Okelah, mungkin berkilah Arsenal terlalu sering menjual pemain bintang, yang dijadikan kambing hitam surutnya prestasi Arsenal. Hal ini karena kebutuhan uang untuk mengimbangi hutang pembangunan stadion. Tetapi itu sudah berlalu, pembangunan stadion sudah selesai sejak lama dan keuangan klub sudah membaik.

Saat ini bahkan Arsenal bukan lagi klub penjual, melainkan pembeli pemain-pemain bintang harga mahal. Mesut Özil dibeli seharga 42 juta poundsterling dari Real Madrid pada 2013, Alexis Sanchez diboyong dari Barcelona musim 2014-2015 dengan banderol 31 juta pounds.

Musim ini Arsenal juga royal membelanjakan dana di bursa transfer. Total, perekrutan Granit Xhaka, Skhodran Mustafi dan Lucas Perez menghabiskan kas Arsenal sebanyak 82 juta poundsterling. Disamping itu, kualitas skuad makin mengkilap dengan munculnya pemain muda seperti Alex Iwobi dan semakin matangnya Hector Bellerin atau Aaron Ramsey.

Kalau begitu muncul pertanyaan, kenapa dengan skuad yang sudah bagus, Arsenal tetap begini-begini saja? Lalu apa? Banyak yang mengatakan, Arsenal bermain indah dan sedap dipandang mata, tetapi lemah dari agresifitas dan kurang punya mentalitas yang kuat.

Soal gaya permainan, Arsenal mengandalkan umpan pendek dan kombinasi satu-dua guna membongkar pertahanan lawan. Sekilas menyerupai ticqui-taka, namun karena bermain di Inggris, Arsenal wajib memiliki gelandang bertahan yang “kejam” seperti Patrick Vieira.

Permainan keras khas seperti Vieira tentu dibutuhkan guna melindungi lini tengah dan belakang, terutama dari serangan balik yang rentan menghantui tim seperti Arsenal, yang gemar menguasai bola dan terapkan garis pertahanan tinggi.

Vieira tidak hanya garang dalam menghentikan serangan atau jago merebut bola, namun juga lihai mengalirkan bola kedepan, sehingga tetap cocok dengan The Arsenal Way yang memainkan umpan pendek dari kaki ke kaki. Dia punya agresifitas baik ketika bertahan atau juga saat menyerang.

Di skuad musim ini ada Francis Coquelin, Granit Xhaka dan Mohammed Elneny yang bisa berperan sebagai gelandang jangkar. Antara ketiga pemain ini, berdasar data situs whoscored.com, Coquelin dari 21 kali tampil di Premier League, dia menonjol dari sisi defensif dengan rerata 2,9 tekel sukses dan 2,3 intersep di setiap laga.

Coquelin pun tidak buruk dalam mengoper bola karena punya catatan akurasi 88%. Sedangkan angka untuk Xhaka yaitu catatan 2,7 tekel, 1,7 intersep, akurasi umpan 89,4 %. Lalu Elneny punya 1,5 tekel, 0,5 intersep dan pass succes percentage 92,6 perlaga.

Bahkan menurut Squawka, Coquelin punya jumlah umpan sukses sebanyak 298 kali di final-third area atau area dalam pertahanan lawan, angka tersebut lebih unggul dari gelandang top dunia semacam Toni Kroos atau Marco Verratti sekalipun.

Coquelin tinggal mengasah teknik agar lebih komplit dan menjaga kebugaran, karena dia seringkali terlilit cedera yang tentu akan menyulitkan kinerja lini tengah Arsenal bila dia tidak bermain. Bermain keras pun harus dia praktekan, agar semakin mendekati atribut yang dimiliki Patrick Vieira.

Selain urusan agresifitas, hal penting lain yang juga dibutuhkan oleh pasukan Arsene Wenger yaitu pemain dengan aura kepemimpinan berkarisma juara. Pemimpin yang karismatik, besar kemungkinan mampu memotivasi dan mengangkat mental rekan-rekannya, terutama di saat-saat genting atau dalam pertandingan besar.

Sepeninggal Vieira atau Henry, belum ada lagi kapten Arsenal yang melebihi atau bahkan sekedar menyamai aura karismatik duo Perancis ini. Maka dari itulah, Arsenal sering melempem di situasi-situasi penting atau di laga bertensi besar akibat kurangnya pemain-pemain berkaratker juara dan bermental baja.

Kapten saat ini, Laurent Koscielny memang tidak punya aura besar seperi Henry dan Vieira. Namun gaya main yang anti kompromi dalam menghalau bola atau menjegal pemain, menjadi gambaran kepada lawan bahwa Arsenal masih punya nyali yang kuat dalam bertanding, meski levelnya belum seperti zaman The Invicible sedia kala.

Pemain seperti Vieira memang dibutuhkan, karakter permainannya penting sebagai pelindung lini tengah yang bisa melapis lini belakang, selain juga jiwa kepemimpinan tinggi yang sangat dibutuhkan di tim seperti Arsenal.

Dengan skuad yang penuh kualiatas teknik seperti sekarang ini, andai ditambah keberadaan holding midfielder tangguh serta adanya pemimpin berkarakter, mungkin Arsenal bisa melaju lebih dari yang saat ini.

Contoh tersaji pada leg pertama kemarin lawan Bayern, ketika Laurent Koscielny ditarik diawal babak kedua akibat cedera, pertahanan Arsenal langsung kelimpungan. Gabriel mudah sekali dieksploitasi Lewandowski dan Thiago Alcantara. Ditambah, duet Coquelin-Xhaka kurang begitu baik melapisi pertahanan.

Agresifitas menyerang juga sangat kurang, saking menggelikannya, bahkan umpan yang dibuat oleh playmaker seperti Mesut Özil tidak lebih banyak dari apa yang dibuat kiper lawan, Manuel Neuer. Özil hanya buat 24 umpan, angka yang sama dengan yang Neuer buat.

Keluarnya kapten Koscielny juga barangkali ikut sedikit banyak mereduksi kekuatan mental pemain Arsenal di laga super penting tersebut. Terlebih lagi ban kapten justru dililitkan ke Kieran Gibbs, yang jangankan jadi panutan pemain lain akan karisma darinya, rutin bermain pun jarang ia dapati musim ini.

Arsenal jelas membawa misi hampir mustahil lolos 16 besar Liga Champions 2016/2017 kali ini. Di liga juga sama, inkonsistensi Wenger Boys di setiap pekan makin menjauhkan mereka dari Chelsea, plus persaingan peringat dua hingga enam juga sangat ketat musim ini.

Di percaturan liga Inggris musim ini, Arsenal sebenarnya sudah menunjukan mental lebih baik ketika partai besar, namun sering tiba-tiba terjungkal seperti kalah 1-2 dari Watford di Emirates Stadium. Hal semacam inilah yang menjadi duri kenapa Arsenal gagal juara musim lalu dan tetap kesulitan bersaing di Premier League musim ini.

Flash back musim lalu, disaat klub-klub besar lain loyo seharusnya kesempatan Arsenal juara terbuka lebar, namun apa daya Arsenal justru ikut-ikutan lembek dan gelar juara pun diserobot Leicester City. Setali tiga uang di Liga Champions, mereka dilumat Barcelona, juga di babak 16 besar yang memang kramat bagi Arsenal beberapa tahun ini.

Musim ini Arsenal harus selalu solid, karena klub besar lain juga menunjukkan perbaikan demi perbaikan. Seharusnya dengan skuad yang sudah bagus kali ini, Arsenal mampu berbuat sesuatu yang lebih daripada musim-musim sebelumnya, setidaknya di Premier League, jika asa untuk mengalahkan Bayern memang sudah sirna.

Saint Totteringham’s Day. Berpesta karena lebih hebat dari arch-rival, namun sang rival itu sendiri sebenarnya bukan klub yang benar-benar hebat, paradoks. Kalau Madrid berpesta karena unggul dari Barcelona, itu wajar, karena baik itu Barca atau Madrid selalu bersaing mendominasi sepakbola Eropa dan Dunia.

Lagipula inikan Tottenham? Trofi terakhir kali yang didapatkan tim ini pun sekedar League Cup 2007-2008, yang bahkan tak lebih bergengsi dari trofi FA Cup, yang Arsenal raih 2014-2015 lalu.

Sah-sah saja musim ini tradisi Saint Totteringham’s Day bisa tetap diwujudkan, tetapi sungguh semu sekali rasa jika bisa menunjukan superioritas dari Tottenham, namun tetap saja Arsenal tidak mampu untuk jadi juara Inggris, apalagi Liga Champions. Ditambah musim ini, bisa jadi puncak saga dari pertanyaan besar, apakah Wenger akan bertahan atau angkat kaki dari Arsenal? Hanya waktulah yang akan menjawabnya.

Foto; independet.co.uk

 

Derbi Klub “Panas” di Dunia

Makna pertandingan derbi bukan berarti hanya antar tim satu wilayah atau negara saja. Bahkan sudah mengalami peluasan hingga antar negara.

Derbi adalah pertadingan sepakbola yang bertensi tinggi dan pada umumnya disisipi faktor historis masa lalu. Intinya pertandingan antar tim yang punya sisi rivalitas tersendiri.

Pertandingan mana yang pantas disebut sebagai “derbi” paling panas di dunia ini? Mungkin dengan mudah orang akan menjawab El Clasico. Memang tidak salah, laga pertandingan yang mempertemukan Real Madrid v Barcelona memang yang paling dinantikan oleh dunia.

Maka setiap kali dua tim ini bertemu, tensi tinggi pertandingan pasti selalu muncul entah itu sebelum, saat dan sesudah laga.

Madrid selalu ingin unggul dari Barcelona dimana sebagai isyarat kerajaan Spanyol berjaya atas separatis, sedangkan Barcelona ingin selalu mengungguli Madrid sebagai wujud kemerdekaan atas tirani kerajaan.

Sebenarnya jika berbicara derbi, El Clasico bukan satu-satunya yang bersuhu “tinggi”. Di berbagai negara lain juga muncul rivalitas yang sebetulnya tidak kalah menegangkan dari El Clasico.

Namun tidak menyedot terlalu banyak perhatian, karena pemian-pemain yang ada tidak sementereng El Clasico, yang selalu menampilkan pertarungan antar pemain-pemain terbaik dunia.

Derbi hampir selalu berlangsung panas, keras dan tempo tinggi. Di Spanyol, selain El Clasico ada banyak derbi yang berlangsung.

Derbi Madrileno, mempertemukan Real v Atletico Madrid, Catalonia derbi antara Barcelona v Espanyol, derbi Andalusia yang menjadi ajang unjuk diri antar Sevilla v Real Betis dan masih banyak lagi.

Dibawah El Clasico, derbi Madrileno mungkin yang paling sengit di Spanyol, apalagi Real dan Atletico saling bersaing di level Spanyol hingga Eropa akhir-akhir ini.

Derbi Catalan tidak terlalu bergensi karena Espanyol selalu medioker beberapa tahun belakangan, Andalusia, meksi tidak melibatkan dua klub sebesar Madrid atau Barca, pasti laga Sevilla vs Betis selalu berjalan alot dan keras.

Pindah ke Inggris, disana ada banyak sekali derbi. North-West (Manchester United v Liverpool), Manchester Derby, London (Arsenal v Chelsea), North-London (Tottenham v Arsenal), Merseyside Derby, Tyne-Wear Derby (Sunderland vs Newcastle) dan masih banyak lagi derbi di Inggris, yang memang terkenal akan fanatisme masyarakatnya terhadap sepakbola.

Di Inggris, saking banyaknya derbi yang bergengsi, akan memanjakan para penikmat sepakbola. Tapi mungkin derbi yang paling menjadi sorotan di musim 2016/2017 adalah Manchester Derby.

Laga antara United v City ini menjadi yang paling ditunggu karena juga melibatkan rivalitas Mourinho dan Pep Guardiola. Selain itu, kedua tim juga sangat royal dalam menghabiskan uang untuk memecahkan rekor transfer pemain.

City membeli John Stones, lebih dari 50 juta poundsterling dan menjadi bek termahal dunia. United mengembalikan anak hilangnya, Paul Pogba dari Juventus sebesar 110 juta euro dan menjadi rekor transfer pemain termahal sepanjang sejarah. Selain Manchester, Merseyside juga tergolong derbi yang panas, apalagi letak stadion punya Liverpool dan Everton yang sangat berdekatan.

Sementara di Italia, ada derbi D’Italia antara Juve v Inter, derbi Della Madoninna (Milan v Inter), derbi Della Capitale (Roma v Lazio), derbi Della Mole yang mempertemukan Juve v Torino, derbi Della Lanterna (Genoa v Sampdoria) dan masih banyak lagi.

Diantara derbi tersebut, paling menarik minat adalah Milan v Inter. Meski gaungnya tidak seperti dahulu kala akibat Milan dan Inter yang tidak terlalu bagus beberapa tahun ini.

Jika melihat persaingang juara, laga Juve-Roma adalah yang paling prestise belakangan ini, namun belum ada julukan spesifik mengenai laga antar dua tim ini. Yang sering berjalan dengan keras dan panas justru antara Roma v Lazio.

Hampir disetiap derbi tim ibukota tersebut, pasti banyak kartu yang dicabut dari saku sang pengadil lapangan. Apalagi derbi Della Capitale dibumbui perbedaan pandangan ideologi kiri dan kanan antara Romanisti dan Laziale.

Selain di tiga negara sepakbola besar diatas, di Eropa banyak sekali derbi-derbi bertensi tinggi. Di Skotlandia ada Old Firm Derby, laga klasik antara Glasgow Celtic v Glasgow Rangers. Jerman menyajikan laga Der Klassiker antara Bayern vs Dortmund, di Belanda ada istilah de Grote Drie dalam sepakbola yang menggambarkan rivalitas segitiga: Ajax, PSV dan Feyenoord.

Di Portugal ada sebutan Os Três Grandes atau derbi tiga klub besar yang paling sukses yaitu FC Porto, Benfica dan Sporting CP. Sementara di negeri Napoleon, Perancis ada Le Classique dimana PSG vs Marseille bertemu.

PSG sebagai klubnya “aristokrat”, sedangkan Marseille mewakili “proletarian”. Dan masih banyak lagi derbi-derbi di Eropa yang tidak terhitung jumlahnya.

Amerika Selatan, di Argentina ada laga Superclasicos antara tim sekota Buenos Aires, River Plate v Boca Juniors yang selalu ketat dan sengit tiap kali mentas. Derbi ini memang begitu sengit, lantaran pemicu perselisihan sosio-kulturanya juga disertai perbedaan antara klubnya orang menengah keatas dan berbahasa sehari-hari Spanyol (River Plate) melawan klub kelas menengah kebawah dan berbahasa Italia (Boca Juniors).

Brasil punya banyak derbi, contohnya derbi Paulista; Corinthians v Palmeiras, San-São derby antara Santos v São Paulo, Choque-Rei antara Palmeiras v São Paulo, derbi Grenal; Gremio v Internacional dan masih banyak lagi.

Bahkan di Indonesia, juga ada laga derbi yang sangat menarik untuk ditonton. Contohnya derbi klasik Persija v Persib atau juga derbi Jawa Timur antara Persebaya v Arema.

Pertandingan derbi, dimanapun berada pasti akan sangat menarik sekali ditonton. Atmosfer dalam laga tersebut akan sangat berbeda dengan yang biasanya, karena mempertemukan dua tim yang punya rivalitas tersendiri.

Dengan keberadaan laga derbi-derbi tersebut, sepakbola menjadi semakin bergelora untuk dinikmati. Pertandingan yang berjalan keras dan bahkan cenderung kasar memang tak bisa dihindari dalam derbi karena setiap tim sangat bernafsu menagalahkan rivalnya. Namun, disitulah justru kenikmatan menikmati pertandingan yang sangat menguras fisik, mental dan emosi para pemain tersebut.

Friksi-friksi sering terjadi, baik sebelum, ketika ataupun sesudah laga. Tak hanya pemain, official dan suporter juga kadang ikut-ikutan terpancing suasana derbi.

Tetapi meski begitu, kita berharap bahwa apa yang ada di sepakbola ya tetaplah itu di sepakbola. Karena sepakbola itu sejatinya menyatukan, bukan memecah-belah. Because in football, rivals are rivals till the end, but not an enemies.

Foto dari forzaitalianfootball.com

Apakah Anda Gila, Mister Presiden?

Setiap klub pasti menginginkan dilatih oleh orang yang tepat. Yang dimaksud tepat adalah pelatih yang bisa membawa klub itu mencapai target yang diinginkan oleh klub. Maka sebuah kewajaran apabila pelatih gagal memenuhi keinginan klub apalagi berselisih paham dengan manajemen, maka dia akan diberhentikan.

Untuk urusan ini, banyak klub yang terkenal akan pemberhentian atau biasa disebut pemecatan pelatih. Klub seperti Real Madrid, Chelsea, Manchester City, Inter, dan AC Milan sering berganti pelatih dalam kurun 10 tahun terakhir.

Klub-klub besar seakan mendominasi “tren” pemecatan pelatih yang dianggap gagal. Tetapi pada fakta sebenarnya bukan hanya klub besar, klub-klub kecil atau semenjana juga sering gonta-ganti pelatih. Untuk klub kecil, biasanya mereka berganti pelatih karena tidak bisa menghindarkan mereka dari zona degradasi, selain juga konflik dengan manajemen klub.

Kabar berita pemecatan pelatih klub medikoer seperti ini relatif tidak seheboh dengan apa yang terjadi di klub besar. Maka wajar saja kabar pemecatan tersebut tidak terlalu menjadi perhatian utama bagi publik pecinta sepakbola. Namun tetap ada saja sensasi jika kita cermati seksama dalam dua tahun belakangan, pelakunya adalah klub Serie A, Palermo.

Klub asal pulau Sisilia, di wilayah selatan Italia ini sangat gemar memecat pelatih akhir-akhir ini. Aktor dibalik ini tentu saja sosok super kontroversial, Maurizio Zamparini. Sosok “gila” sebagai preseiden klub Palermo ini lah yang memegang kendali utama roda kebijakan klub berjuluk Rosaneri itu.

Maurizio Zamparini, berlatar belakang sebagai pebisnis di berbagai bidang dengan bisnis retail supermarket, Emmezata yang menjadi andalan pria asal provinsi Udine ini. Sukses menjadi pebisnis, Zamparini masuk ke dunia sepakbola pada 1987 dengan membeli klub dari kota air, Venezia. Saat itu Venezia hampir bangkut dan berada di Serie C, lalu meski lama, Venezia berhasil promosi ke Serie A musim 1998-1999.

Kecewa lantaran keinginannya merenovasi stadion Pierluigi Penzo ditolak pemerintah lokal, Zamparini menjual Venezia dan lalu membeli Palermo pada tahun 2002. Dibawah komando presiden Zamparini, Palermo melakukan evolusi dalam tubuhnya. Pada saat Zamparini datang, Palermo masih berkubang di Serie B.

Hanya butuh dua tahun bagi Rosaneri komando Zamparini untuk kembali ke Serie A pada 2004/2005. Mereka kembali ke kasta tertinggi pertama kali sejak 1973 sebagai juara Serie B musim 2003/2004. Zamparini jelas sangat berjasa dan tentu nama Zamparini sangat dicintai oleh publik Palermo berkat uluran tangannya memoles Palermo hingga kini.

Meski jasa Zamparini banyak, dia juga termasuk orang kontroversial apalagi jika berurusan dengan pelatih. Zamparini mungkin disebut sebagai presiden klub yang paling tega memecat pelatih di dunia ini. Selama menjabat sebagai pemilik sekaligus presiden Palermo, sudah banyak nama yang keluar masuk stadion Renzo Barbera sebagai pelatih.

Selama dipimpin Zamparini, total 29 nama pelatih (termasuk yang bolak-balik ditunjuk pelatih) yang pernah menangani Palermo hanya sejak 2002 hingga 2016! Angka itu lebih banyak dari jumlah musim Palermo dibawah kepemilikan Zamparini sejak awal hingga kini. Dua puluh sembilan nama pelatih berbeda selama 14 tahun terkahir, menunjukkan betapa entengnya palu pemecatan dari Zamparini dilayangkan kepada pelatih-pelatih Palermo tersebut.

Pelatih pertama yang pergi pada zaman Zamparini adalah Roberto Pruzzo. Legenda AS Roma ini bahkan hanya bertahan lima hari di Palermo. Setelah itu hilir mudik pelatih masuk dan dipecat seringkali terjadi di Palermo. Bahkan Francesco Guidolin, yang membawa Palermo naik ke Serie A 2004 juga tidak bisa mengelak dari pemecatan Zamparini.

Musim pemecatan pelatih paling parah terjadi di musim 2015/2016 lalu. Total ada delapan pergantian pelatih pada musim tersebut, gila? Namun hal itu biasa saja bagi orang anti mainstream seperti Zamparini. Di musim lalu, Palermo mengawali kompetisi dibawah pelatih Giuseppe Iachini, namun didepak pada November 2015 karena konflik dengan Zamparini.

Davide Ballardini masuk sebagai pengganti, namun performa Palermo justru merosot hingga Ballardini juga didepak pada Januari 2016. Tugas Ballardini untuk sementara dilanjutkan oleh pelatih teknik, Fabio Viviani. Dia akan menjadi caretaker guna mengisi kekosongan pelatih, sembari Palermo mencari pelatih yang baru.

Disinilah kontroversi kembali muncul. Untuk menggantikan Ballardini, Zamparini tunjuk mantan pemain timnas Argentina, Guillermo Barros Schelotto guna menjadi arsitek tim yang baru. Tetapi ternyata, Barros Schelotto dicekal oleh untuk melatih di Italia. Alasan UEFA, karena lisensi kepelatihan Barros Schelotto belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi pelatih profesional di liga-liga Eropa semacam Serie A.

Tak kehilangan akal, Palermo menyiasati ini dengan mengembalikan Viviani (yang bertahan tidak sampai 2 minggu) ke posisi staf teknik dan menunjuk Giovanni Tedesco sebagai pelatih. Tedesco mempunyai lisensi UEFA, jadi dia bisa melatih tim Serie A. Barros Schelotto akan menjadi pelatih sesungguhnya meski “dari tribun” penonton.

Sedangkan Tedesco yang akan berada di area teknik pinggir lapangan, tapi sebagai pelatih formalitas saja. Hal ini dilakukan sambil menunggu upaya Palermo untuk mengurus perizinan Schelotto di birokrasi sepakbola Eropa yang memang sedikit banyak memakan waktu.

Lisensi ditolak UEFA, Barros Schelotto pun mengundurkan diri sebagai “pelatih” Palermo. Hal sama juga terjadi pada Giovanni Tedesco, namun kemudian dia ditarik ke posisi staf teknik Palermo. Barros Schelotto secara de facto melatih Palermo sejak 11 Januari hingga 10 Februari 2016. Begitu juga Tedesco yang secara de jure tercatat “melatih” Palermo pada saat yang sama. Entah kenapa bisa serumit ini manajemen Palermo dalam menunjuk pelatih.

Setelah kasus Schelotto, Zamparini menunjuk Giovanni Bosi, pelatih tim junior atau Primavera untuk menjadi pelatih tim inti. Tetapi dia hanya bertahan “satu laga” dan langsung dipecat setelahnya. Kekacauan Palermo masih berlanjut, Giuseppe Iachini yang kembali dengan menggantikan Bosi juga dipecat pada bulan Maret, hanya bertahan satu bulan.

Iachini digantikan Walter Novellino, namun hasil yang buruk kembali membuat Zamparini marah dan memecat Novellino pada April. Palermo kembali menunjuk mantan pelatihnya, Davide Ballardini senagai allenatore baru. Dia sukses mengamankan Palermo dari jeratan degradasi ke Serie B. Ballardini tetap melatih Palermo diawal 2016/217

Memasuki musim baru 2016/2017, ternyata Ballardini kembali dipecat. Penyebab dia dipecat adalah konflik dengan manajemen, terutama dengan Zamparini yang memang dimana sang patron ingin pelatih tunduk padanya. September 2016 setelah Ballardini pergi, Palermo menunjuk pelatih muda, Roberto De Zerbi sebagai nahkoda baru.

Namun lagi-lagi sumbu pendek Zamparini memakan korban. De Zerbi, yang semasa dulu pernah bermain di Napoli ini dipecat bulan November lalu. Hasil buruk menjadi preferensi kenapa De Zerbi dipecat dan diganti oleh Eugenio Corini. Corini menjadi orang ke 29 atau pelatih ke 38 kalinya semenjak Zamparini berkuasa di Palermo.

Apa yang dilakukan oleh Zamparini pantas disebut gila. Temperamen dalam diri Zamparini ikut berpengaruh dalam pengambilan keputusan klub, dan parahnya Palermo yang terkena imbas. Sebuah tim jadi tidak stabil dan terlebih psikologis pemain sedikit banyak terganggu akibat dari seringnya pelatih berganti.

Mister Zampa bahkan diberi julukan mangiallenatori atau pemakan pelatih oleh media di Italia. Julukan tersebut diberikan karena ulahnya yang sangat sering memecat pelatih jika tidak puas dengan hasil pertandingan atau tidak tunduk pada dirinya. Meski begitu beberapa pelatih seperti tidak kapok menjadi pelatih Palermo, walau pernah juga pada masa lalunya dipecat oleh Zamparini.

Francesco Guidolin, Giuseppe Iachini, Davide Ballardini, Delio Rossi, atau Stefano Colantuono mereka adalah contoh orang-orang yang pernah di-PHK oleh Zamparini, namun juga tidak kapok untuk melatih Palermo lagi. Guidolin bahkan empat kali merasakan pemecatan ala Zamparini.

Punya nama besar juga tidak berarti disegani oleh Zamparini. Legenda AC Milan dan Italia, Gennaro Gattuso yang memulai karir kepelatihan di Italia pertama kali dengan melatih Palermo, juga tidak bisa mengelak dari pemecatan oleh Zamparini. Gatusso bahkan tidak melatih hingga 2 bulan di Palermo.

Meski berada ditangan orang yang mudah naik pitam layaknya Zamparini, Palermo pernah beberapa kali menjadi perbincangan dari sisi “positif”. La Rosa pernah menyodok hingga ke zona Eropa, meski hanya Europa League. Selain itu dibawah Zamparini, Palermo beberapa kali sukses memoles pemain muda jadi pemain bintang.

Mulai dari pemain yang pernah memperkuat timnas Italia seperti Andrea Barzagli, Marco Amelia, Antonio Nocerino, Federico Balzaretti, Carvalho Amauri, Salvatore Sirigu hingga Franco Vazquez. Selain Italia, ada pemain timnas negara lain seperti Edinson Cavani (Uruguay), Simon Kjaer (Denmark), lalu dua pemain Argentina; Javier Pastore dan Paulo Dybala.

Palermo juga terkenal karena kepintaran mereka menemukan penyerang berpotensi besar, meski dari zona antah berantah yang jarang terekspos. Edinson Cavani (Danubio), Javier Pastore (Huracan), Franco Vazquez (Belgrano) dan Paulo Dybala dari Instituto Cordoba. Musim ini hal itu berlanjut dengan sosok Ilija Nestorovski, striker Makedonia yang dibeli dari klub Kroasia, Inter Zapresic.

Zamparini, sosok nomor satu di tubuh Palermo yang memang sangat temperamental, namun begitulah sepakbola. Dengan adanya karakter super unik layaknya Maurizio Zamparini maka sepakbola semakin menarik untuk dibicarakan, terutama sepakbola Italia. Tinggal kita tunggu saja Palermo hingga akhir musim ini, mau memecat berapa pelatih lagi, Pak Presiden?

Foto: calcio.web.eu