Steven Gerrard resmi akan menjadi pelatih salah satu kesebelasan terbesar di Skotlandia, Glasgow Rangers untuk musim 2018/19 . Disana, sang legenda akan head-to-head secara langsung dengan mantan bosnya semasa di Liverpool, Brendan Rogders yang menangani Glasgow Celtic.
Derbi Glasgow musim depan akan lebih semarak dari sebelum-sebelumnya. Selain pertemuan klasik Rangers dan Celtic, menu Gerrard bersua Rodgers juga akan menjadi headline yang diapungkan.
Didapuknya mantan kapten The Reds tersebut sebagai pelatih Rangers, harus diakui membawa optimisme ke klub yang bermarkas di Ibrox Stadium tersebut. Keberadaan nama besar seperti Gerrard diharapkan mengangkat kembali The Gers untuk bersaing di papan atas Liga Primer Skotlandia, yang didominasi Celtic dalam 7 musim terakhir.
Tetapi, skeptisme juga muncul karena Gerrard yang masih nol pengalaman dalam menangani tim profesional. Sebelum menangani Kenny Miller dan kolega musim depan, pengalaman Gerrard hanyalah coach di tim U-18 Liverpool.
Tugas berat akan menanti Gerrard di Ranger. Klub itu dalam misi mengembalikan kejayaan masa lalu mereka pasca problem finansial dan terdemosi ke kasta keempat, Scottish Third Division pada musim 2012/13 lalu.
Meski musim lalu sudah kembali ke Liga Primer Skotlandia, Rangers masih kesulitan bersaing terutama dengan rival abadinya Celtic. Melawan dominasi Celtic di Skotlandia saat ini, bagi Gerrard ibarat lah mematahkan sebuah mitos.
Secara tradisi, Rangers dan Celtic adalah duopoli Skotlandia, mungkin mirip-mirip dengan Real Madrid dan Barcelona di Spanyol. Namun, secara kesiapan tim untuk memberi perlawanan sengit pada Celtic, Rangers masih lah butuh proses lebih lama. Bukti nyata ketika Rangers dibantai 0-5 oleh Celtic pada pertemuan terakhir kedua tim awal Mei lalu. Hasil itu makin melenggangkan Celtic merengkuh juara Liga Primer Skotlandia yang ketujuh berturut-turut.
Merongrong dominasi Celtic saat ini adalah mitos yang berat untuk Gerrard hancurkan. Padahal, kita tahu kisah perjalanan karir Gerrard pun lekat dengan perlawanan terhadap mitos-mitos yang ia hadapi. Paling mengena dan tentu paling membuatnya dilema adalah soal relasi Liverpool dan gelar Liga Inggris.
Semenjak mulai debut di tahun 1998, Gerrard perlahan mulai memanggul tanggung jawab yang besar. Di era Gerard Houllier, dia diangkat sebagai kapten utama pada musim 2003/04 menggantikan Sammy Hyppia. Selain scouser tulen, posisinya yang beredar di lini tengah dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi membuatnya makin elegan mengemban amanah skipper Liverpool.
Gelar juara masing-masing satu Liga Champions, satu Piala FA dan satu Piala Liga sukses direngkuh Liverpool ketika ban kapten terlingkar di lengan Gerrard. Jelas sebuah pencapaian brilian untuk karir seorang pesepak bola.
Gerrard tumbuh kembang sedari kecil dengan kenangan akan kejayaan Liverpool di Inggris. Disaat itu The Reds sedang merajai Divisi Pertama dengan capaian 18 kali juara. Terbanyak di Inggris. Namun ketika berubah format menjadi Liga Primer per musim 1992/93, Liverpool sama sekali belum mengecap gelar prestisus itu lagi hingga kini. Miris.
Narasi yang beredar ketika kita membicarakan Liverpool adalah tentang gelar juara Liga Inggris yang tak kunjung didekap. Dan hal itu pun seakan termitoskan. Liverpool sangat sulit menjuarai Liga Inggris.
Masa bakti Gerrard selama 17 tahun di Liverpool sebagai pemain profesional, sama sekali tak dihiasi dengan yang namanya gelar juara Liga Inggris. Sesuatu yang pasti juga didambakan seluruh Kopites dimanapun berada.
Mitos Liverpool yang kesulitan menjuarai Liga Primer pun semakin terasa perih ketika status sebagai penguasa Inggris dengan 18 titel liga, diambil alih Manchester United yang bahkan mampu mereka genapkan jadi 20 titel di musim 2012/13. Padahal selama Gerrard memimpin Liverpool, dua kali dia merasakan dekat (menjadi runner-up) dengan gelar juara liga yang didamba. Pertama pada musim 2008/09 dibawah manajer Rafa Benitez dan dan musim 2013/14, di era Brendan Rodgers.
Kesempatan terbaik Gerrard adalah musim 2013/14 lalu. Liverpool bermain luar biasa di Liga Primer kala itu dan rasa-rasanya akan juara. Namun peristiwa fenomenal terpelesetnya Gerrard sendiri, pada laga versus Chelsea musim itu lah disebut-sebut membuyarkan peluang mereka untuk juara.
Mitos yang ia dan segenap elemen di Liverpool dibuat penasaran akan gelar juara Liga Primer, akhirnya gagal terpatahkan. Ditambah peristiwa “Crystanbul”, dari keunggulan 3-0 menjadi 3-3 kala bersua Crystal Palace semakin memperjelas bahwa antara Liverpool dan gelar juara Liga Primer adalah jodoh yang seakan sulit dipertemukan.
Gerrard sendiri pun merasa masih terhantui akan peristiwa terpeleset itu beberapa tahun setelahnya. Betapa ia masih tak bisa melupakan kejadian itu terbukti walau ia sudah pindah ke LA Galaxy pada 2015 lalu. Kepada The Guardian, dia menjelaskan, “Peristiwa terpeleset itu terjadi di waktu yang buruk, dan itu terasa kejam bagiku secara personal”.
Gerrard bergabung dengan LA Galaxy pada Januari 2015, hanya berjarak beberapa bulan pasca kisah memilukan di akhir-akhir musim 2013/14. Apakah Gerrard tak kuat dengan derita yang ia alami ketika gagal membawa Liverpool juara, hingga harus pindah ke LA Galaxy? Entah lah, hanya Gerrard dan Tuhan yang tahu rahasia itu. Tetapi jelas bahwa berat beban dirasakan Gerrard, sebagai legenda Liverpool di era sepak bola modern yang gagal antarkan Liverpool memecahkan mitos menjarai Liga Primer.
Hijrah ke Amerika Serikat, Gerrard juga dihadirkan untuk melawan mitos lain yang ada. Seperti rekan senegaranya, David Beckham, alasan LA Galaxy mendatangkan Gerrard adalah untuk mengdongkrak popularitas sepak bola di negeri Paman Sam tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mengharapkan rakyat Amerika Serikat menggilai sepak bola selayaknya orang Eropa, hanyalah mitos belaka. Namun, belum terangkatnya sepak bola sebagai olahraga nomor satu disana hingga kini, juga bukan kesalahan Gerrard. Lagipula, mendatangkan mega bintang seperti Beckham atau Ibrahimovic pun belum tentu bisa merubah selera orang disana yang lebih gemar terhadap Basket atau American football.
Kembali ke soal Gerrard dan Rangers. Kedepan, selain mematahakan mitos dengan cepat berupa dominasi Celtic di Skotlandia, Gerrard juga dihadapkan pada persoalan yang paradoks; tentang rivalitas Rangers dan Celtic.
Sejarahnya, dahulu Celtic dibentuk sebagai salah satu wadah persatuan orang-orang Katolik, yang menunjukkan eksistensinya di Skotlandia dengan cara melalui sepak bola. Sebaliknya, propaganda keagamaan Kristen Protestan dikobarkan oleh mereka yang menggemari Rangers. Dan kita tahu, rivalitas dua sekte itu sangat lah tajam di Skotlandia pada masa lampau.
Dan isu sektarian ini kerap dijadikan bumbu bagi rivalitas kedua klub. Bagi orang-orang Skotlandia, Celtic vs Rangers bukan hanya perkara siapa yang lebih baik di kota Glasgow. Namun juga soal persaingan antara Katolik vs Protestan.
Dahulu jajaran klub dan pemain-pemain Celtic haruslah orang Katolik, begitu juga Rangers yang menggariskan elemen di klubnya dari golongan Protestan. Bahkan, tak jarang sebuah perusahaan tak menerima pelamar kerja hanya karena sang bos perusahaan beda preferensi soal klub mana yang dibela.
Gerrard adalah seorang katolik, bahkan ada yang mengabarkan dia Katolik yang taat. Bekerja di klub yang bersentimen negatif dengan kepercayaannya, tentu bisa membuat orang mengalami pergolakan pemikiran dan batin.
Mungkin akan berkebalikan andai Steven Gerrard berperangai semacam Lorenzo Amoruso, mantan pemain Rangers asal Italia. Dia seorang Katolik, namun senang dengan hujatan-hujatan dari fans Rangers terhadap kepercayaannya sendiri, yang sebenarnya ditujukan ke sang rival Celtic.
Namun, untuk saat ini sepertinya situasi cenderung lebih baik. Dari elemen suporter, baik di Celtic atau Rangers mungkin masih mempertahankan sentimen masa lalu tersebut hingga kini. Namun di tingkat klub hal itu sudah tak relevan.
Celtic kini diisi jajaran klub dan pemain-pemain Protestan, begitu juga Rangers yang kini banyak menggunakan tenaga direksi dan pemain Katolik. Sehingga, isu Katolik-Protestan dalam rivalitas Celtic vs Rangers sepertinya tak lagi menjadi mitos atau persoalan pelik bagi Gerrard.
Yang lebih krusial bagi diri Gerrard adalah meruntuhkan mitos akan dominasi Celtic dan membuktikan diri bahwa dia punya kapabilitas sebagai seorang juru taktik.
Apakah di Rangers nanti, perjuangan dari seorang Steven Gerrard untuk mematahkan mitos-mitos yang berkelindan dalam segenap perjalanan karier di dunia sepak bola, akan berujung klimaks? Itulah yang akan kita lihat dengan seksama kedepan, berhasil atau tidaknya Steven Gerrard yang seakan selalu berhadapan dengan mitos-mitos dalam kehidupan sepak bolanya.
Sumber foto irishtimes.com