Derbi Klub “Panas” di Dunia

Makna pertandingan derbi bukan berarti hanya antar tim satu wilayah atau negara saja. Bahkan sudah mengalami peluasan hingga antar negara.

Derbi adalah pertadingan sepakbola yang bertensi tinggi dan pada umumnya disisipi faktor historis masa lalu. Intinya pertandingan antar tim yang punya sisi rivalitas tersendiri.

Pertandingan mana yang pantas disebut sebagai “derbi” paling panas di dunia ini? Mungkin dengan mudah orang akan menjawab El Clasico. Memang tidak salah, laga pertandingan yang mempertemukan Real Madrid v Barcelona memang yang paling dinantikan oleh dunia.

Maka setiap kali dua tim ini bertemu, tensi tinggi pertandingan pasti selalu muncul entah itu sebelum, saat dan sesudah laga.

Madrid selalu ingin unggul dari Barcelona dimana sebagai isyarat kerajaan Spanyol berjaya atas separatis, sedangkan Barcelona ingin selalu mengungguli Madrid sebagai wujud kemerdekaan atas tirani kerajaan.

Sebenarnya jika berbicara derbi, El Clasico bukan satu-satunya yang bersuhu “tinggi”. Di berbagai negara lain juga muncul rivalitas yang sebetulnya tidak kalah menegangkan dari El Clasico.

Namun tidak menyedot terlalu banyak perhatian, karena pemian-pemain yang ada tidak sementereng El Clasico, yang selalu menampilkan pertarungan antar pemain-pemain terbaik dunia.

Derbi hampir selalu berlangsung panas, keras dan tempo tinggi. Di Spanyol, selain El Clasico ada banyak derbi yang berlangsung.

Derbi Madrileno, mempertemukan Real v Atletico Madrid, Catalonia derbi antara Barcelona v Espanyol, derbi Andalusia yang menjadi ajang unjuk diri antar Sevilla v Real Betis dan masih banyak lagi.

Dibawah El Clasico, derbi Madrileno mungkin yang paling sengit di Spanyol, apalagi Real dan Atletico saling bersaing di level Spanyol hingga Eropa akhir-akhir ini.

Derbi Catalan tidak terlalu bergensi karena Espanyol selalu medioker beberapa tahun belakangan, Andalusia, meksi tidak melibatkan dua klub sebesar Madrid atau Barca, pasti laga Sevilla vs Betis selalu berjalan alot dan keras.

Pindah ke Inggris, disana ada banyak sekali derbi. North-West (Manchester United v Liverpool), Manchester Derby, London (Arsenal v Chelsea), North-London (Tottenham v Arsenal), Merseyside Derby, Tyne-Wear Derby (Sunderland vs Newcastle) dan masih banyak lagi derbi di Inggris, yang memang terkenal akan fanatisme masyarakatnya terhadap sepakbola.

Di Inggris, saking banyaknya derbi yang bergengsi, akan memanjakan para penikmat sepakbola. Tapi mungkin derbi yang paling menjadi sorotan di musim 2016/2017 adalah Manchester Derby.

Laga antara United v City ini menjadi yang paling ditunggu karena juga melibatkan rivalitas Mourinho dan Pep Guardiola. Selain itu, kedua tim juga sangat royal dalam menghabiskan uang untuk memecahkan rekor transfer pemain.

City membeli John Stones, lebih dari 50 juta poundsterling dan menjadi bek termahal dunia. United mengembalikan anak hilangnya, Paul Pogba dari Juventus sebesar 110 juta euro dan menjadi rekor transfer pemain termahal sepanjang sejarah. Selain Manchester, Merseyside juga tergolong derbi yang panas, apalagi letak stadion punya Liverpool dan Everton yang sangat berdekatan.

Sementara di Italia, ada derbi D’Italia antara Juve v Inter, derbi Della Madoninna (Milan v Inter), derbi Della Capitale (Roma v Lazio), derbi Della Mole yang mempertemukan Juve v Torino, derbi Della Lanterna (Genoa v Sampdoria) dan masih banyak lagi.

Diantara derbi tersebut, paling menarik minat adalah Milan v Inter. Meski gaungnya tidak seperti dahulu kala akibat Milan dan Inter yang tidak terlalu bagus beberapa tahun ini.

Jika melihat persaingang juara, laga Juve-Roma adalah yang paling prestise belakangan ini, namun belum ada julukan spesifik mengenai laga antar dua tim ini. Yang sering berjalan dengan keras dan panas justru antara Roma v Lazio.

Hampir disetiap derbi tim ibukota tersebut, pasti banyak kartu yang dicabut dari saku sang pengadil lapangan. Apalagi derbi Della Capitale dibumbui perbedaan pandangan ideologi kiri dan kanan antara Romanisti dan Laziale.

Selain di tiga negara sepakbola besar diatas, di Eropa banyak sekali derbi-derbi bertensi tinggi. Di Skotlandia ada Old Firm Derby, laga klasik antara Glasgow Celtic v Glasgow Rangers. Jerman menyajikan laga Der Klassiker antara Bayern vs Dortmund, di Belanda ada istilah de Grote Drie dalam sepakbola yang menggambarkan rivalitas segitiga: Ajax, PSV dan Feyenoord.

Di Portugal ada sebutan Os Três Grandes atau derbi tiga klub besar yang paling sukses yaitu FC Porto, Benfica dan Sporting CP. Sementara di negeri Napoleon, Perancis ada Le Classique dimana PSG vs Marseille bertemu.

PSG sebagai klubnya “aristokrat”, sedangkan Marseille mewakili “proletarian”. Dan masih banyak lagi derbi-derbi di Eropa yang tidak terhitung jumlahnya.

Amerika Selatan, di Argentina ada laga Superclasicos antara tim sekota Buenos Aires, River Plate v Boca Juniors yang selalu ketat dan sengit tiap kali mentas. Derbi ini memang begitu sengit, lantaran pemicu perselisihan sosio-kulturanya juga disertai perbedaan antara klubnya orang menengah keatas dan berbahasa sehari-hari Spanyol (River Plate) melawan klub kelas menengah kebawah dan berbahasa Italia (Boca Juniors).

Brasil punya banyak derbi, contohnya derbi Paulista; Corinthians v Palmeiras, San-São derby antara Santos v São Paulo, Choque-Rei antara Palmeiras v São Paulo, derbi Grenal; Gremio v Internacional dan masih banyak lagi.

Bahkan di Indonesia, juga ada laga derbi yang sangat menarik untuk ditonton. Contohnya derbi klasik Persija v Persib atau juga derbi Jawa Timur antara Persebaya v Arema.

Pertandingan derbi, dimanapun berada pasti akan sangat menarik sekali ditonton. Atmosfer dalam laga tersebut akan sangat berbeda dengan yang biasanya, karena mempertemukan dua tim yang punya rivalitas tersendiri.

Dengan keberadaan laga derbi-derbi tersebut, sepakbola menjadi semakin bergelora untuk dinikmati. Pertandingan yang berjalan keras dan bahkan cenderung kasar memang tak bisa dihindari dalam derbi karena setiap tim sangat bernafsu menagalahkan rivalnya. Namun, disitulah justru kenikmatan menikmati pertandingan yang sangat menguras fisik, mental dan emosi para pemain tersebut.

Friksi-friksi sering terjadi, baik sebelum, ketika ataupun sesudah laga. Tak hanya pemain, official dan suporter juga kadang ikut-ikutan terpancing suasana derbi.

Tetapi meski begitu, kita berharap bahwa apa yang ada di sepakbola ya tetaplah itu di sepakbola. Karena sepakbola itu sejatinya menyatukan, bukan memecah-belah. Because in football, rivals are rivals till the end, but not an enemies.

Foto dari forzaitalianfootball.com

Image

Aneh dan Anomali-nya Madridistas

Suporter sepakbola adalah sekelompok orang yang menyatakan, menyuarakan, menunjukkan identitasnya sebagai orang-orang yang mendukung dan mencintai klub sepakbola tertentu.

Keberadaan suporter itu penting bagi klub sepakbola, karena tanpa suporter maka stadion akan sepi dan tidak ada pemberi semangat bagi pemain yang berlaga di lapangan.

Mereka pun selain dibutuhkan untuk mendukung pemain agar performa mereka di lapangan selalu baik, mereka juga menjadi “pengawas”  performa tim dengan sering melemparkan kritik kepada klub sendiri ketika tim bermain buruk.

Hal ini sudah wajar dimana-mana, ketika tim bermain baik suporter memuji, ketika bermain buruk suporter mencela tim mereka, namun akhir-akhir ini ada kumpulan suporter yang dikategorikan terlalu “tega” terhadap tim dan pemain klub yang mereka dukung  dan suporter tersebut adalah Madridistas, pendukung setia Real Madrid ini justru menjadi kendala bagi beberapa pemain penting di Real Madrid beberapa tahun terkahir.

Madridistas suporter yang sangat mencintai Real, sudah menjadi kodrat mereka mendukung Madrid kapan pun dan dimana pun, tidak hanya itu kenginan mereka untuk melihat Madrid berjaya disemua kompetisi yang diikuti juga membuat pemain Real Madrid tidak akan pernah kehabisan tambahan semangat di setiap pertandingan yang dilalui, loyalitas mereka salah satu yang terbaik.

Tetapi keinginan melihat Madrid untuk selalu berjaya memunculkan obsesi tersendiri, apalagi rivalitas abadi dengan Barcelona membuat Madridistas terobsesi melihat Madrid selalu diatas Barcelona dari segi prestasi disetiap musim.

Selain itu Madridistas juga ingin melihat Cristiano Ronaldo dan rekan bermain dengan indah yang tidak kalah dengan gaya ticqui-taka khas Barcelona, kesimpulannya sudah tentu bahwa Madridistas membenci Barcelona.

Disatu sisi sepakbola adalah olahraga yang tidak bisa ditebak sehingga tidak selamanya Madrid berprestasi, kadang tidak selamanya juga keinginan Madridistas terpenuhi. Apalagi performa pemain bintang Madrid juga ada pasang-surutnya dan tidak selamanya dalam bentuk terbaik.

Seharusnya suporter seperti Madridistas hadir sebagai “malaikat” bagi tim ataupun pemain yang tengah mengalami masa sulit, namun ternyata tidak selamanya Madridistas berada diposisi itu karena terkadang mereka justru mencaci tim dan pemain-pemain Madrid.

Memang terkadang tidak hanya dukungan yang bisa membuat semangat tim atau pemain naik, kritik dari suporter juga bisa membuat tim dan pemain terlecut untuk menampilkan permainan yang bagus dan Madridistas juga tidak hanya mendukung namun juga mengkritik performa tim dan pemain Madrid yang bermain buruk.

Namun hal “aneh” terjadi beberapa tahun ini, kritik yang diberikan Madridistas untuk tim dan beberapa pemain Madrid bisa dikatakan berlebihan dan begitu kejam, lalu mereka disisi lain juga tidak malu-malu memuji pemain Barcelona padahal semua orang di dunia tahu bahwa rivalitas Madrid-Barca sangat keras dan mereka juga membenci Barcelona.

Sungguh hal itu membuat siapapun yang suka sepakbola dan memperhatikan rivalitas Madrid-Barca menjadi heran dan bingung dengan perilaku Madridistas tersebut.

          Dulu mereka dengan tega membuat legenda hidup sekelas Iker Casillas begitu tertekan dengan perilaku Madridistas itu sendiri. Ada sebuah kronologi yang melatarbelakangi yaitu ditahun terkahir keberadaan Jose Mourinho sebagai pelatih (2012-2013), Casillas disingkirkan sebagai kiper utama Madrid.

Alasan Mourinho adalah penurunan performa Casillas dan sering melakukan blunder sehingga dia dijadikan cadangan yang membuat Diego Lopez menjadi kiper utama, akan tetapi beredar rumor bahwa yang membuat Casillas dicadangkan adalah kedekatan personal dia dengan dua pemain Barca, Carles Puyol dan Xavi Hernandez.

Awalnya Mourinho mengkritik kedekatan tersebut karena demi mewujudkan cita-cita meruntuhkan Barcelona, The Special One ingin semangat anti-Barca juga diresapi oleh seluruh pemain Madrid sehingga kedekatan dengan pemain Barca adalah sesuatu yang haram apalagi itu dilakukan oleh kapten Madrid, Casillas.

Sehingga muncul friksi antar Mou vs Casillas dan sang kapten pun berkilah bahwa kedekatan tersebut demi menjaga harmonisasi tim nasional Spanyol namun tetap saja hal itu tidak disukai Mourinho dan dia pun terpaksa dicadangkan.

Performa buruk Casillas disepanjang musim lalu membuat kritikan dari Madridistas yang sebenarnya sangat sedikit sekali justru menjadi terang-terangan, mereka mulai dengan tega menyiuli Casillas ketika bermain.

Sontak saja simpati Madridisitas untuk Casillas hilang total dan cemoohan untuk Casillas semakin keras dan keras hingga akhir musim. Apalagi ditambah rumor transfer David De Gea ke Madrid membuat Casillas semakin tertekan dan dia terpaksa pindah ke FC Porto di akhir musim.

Awalnya Casillas tetap mendapat simpati Madridistas meski dia dekat dengan Puyol dan Xavi, dan setelah Mourinho pergi, Carlo Ancelotti mengubah status Casillas lebih baik dengan menjadi kiper utama Madrid di Liga Champions, sedangkan di Liga Spanyol tetaplah untuk Diego Lopez.

Di musim tersebut (2013-2014), musim pertama Ancelotti datang) Madrid meraih La Decima atau gelar ke 10 Liga Champions, namun simpati tersebut terhenti di musim berikutnya ketika performa Casillas menurun di Liga Champions 2015-2016 (salah satu contoh ketika leg kedua semifinal Liga Champions versus Juventus) dan di seluruh perjalanan musim tersebut secara keseluruhan.

Apa yang dilakukan Madridistas mungkin dapat dipahami, karena Casillas adalah pemain Madrid yang sudah sewajibnya tidak dekat dengan pemain Barca, meski kedekatan dengan Puyol dan Xavi adalah untuk alasan profesional (Spanyol) dan secara personal tetap saja itu tidak bisa diterima Madridistas, apalagi dia adalah kapten klub.

Namun menghujat secara berlebihan pemain yang sudah masuk kategori legenda seperti Casillas juga merupakan hal yang tidak baik dilakukan oleh suporter sendiri, apalagi tidak ada seremoni perpisahan untuk Casillas dan hanya sebuah press conference yang diiringi tangis sedih dari Santo Iker ketika menyatakan kepindahannya ke Porto.

Apa yang dilakukan oleh Madridsitas terhitung kejam padahal berbagai gelar yang pernah diraih Madrid juga berkat kontribusi besar dari seorang seperti Casillas. Madridistas menjadi suporter yang tidak menghargai jasa-jasa pemain Madrid itu sendiri, padahal mereka punya begitu banyak jasa selama berada di Santiago Bernabeau.

Musim ini (2015-2016) hal itu berlanjut dan target berikutnya adalah Cristiano Ronaldo, yang mendapat kritik cemooh dari Madridistas. Ronaldo yang sudah berusia 31 tahun tidaklah seperti dulu lagi, tidak ada gerakan eksplosif melewati lawan yang ada hanya penempatan posisi yang oportunis untuk mencetak gol.

Ternyata performa dia yang menurun berdampak bagi Madrid dan ditambah Gareth Bale yang sering cedera, otomatis membuat Madrid hanya bergantung pada Ronaldo.

Apalagi pelatih yang ditunjuk menggantikan Ancelotti adalah Rafa Benitez yang tidak disukai pemain dan Madridistas, sehingga membuat Madrid bermain tidak konsisten dan yang paling parah adalah kekalahan 0-4 dari Barcelona di Santiago Bernabeau.

Selain kelincahannya yang berkurang, koleksi gol dia pun yang umumnya hanya muncul ketika melawan tim kecil disamping itu kestabilan performa Messi yang membantu Barca tetap melaju kencang musim ini membuat cemoohan Madridistas untuk Ronaldo terus bermunculan disetiap pertandingan.

 Ketidakmampuan mengangkat dan menstabilkan performa Los Blancos (selain karena faktor dari Benitez) membuat Ronaldo pun sering diejek dan yang paling mengherankan adalah ketika disebuah laga Copa del Rey, seorang Madridistas membentangkan jersey Real bertuliskan “Messi” dan nomor punggung 10.

Tentu hal tersebut membuat Ronaldo sangat kesal padahal semua tahu bahwa rivalitas Ronaldo vs Messi juga tinggi, sudah pasti CR7 kecewa dengan aksi seorang suporter Madrid tersebut.

Hal ini lah yang membuat rumor ketidakbetahan Ronaldo di Madrid semakin terdengar nyaring dan isu tersebut membuat berbagai spekulasi kepindahan menuju Manchester United atau PSG semakin sering menjadi isi berita berbagai media, apa yang dilakukan Madridistas sungguh terasa berlebihan.

Padahal Ronaldo adalah andalan Madrid dilima musim terakhir dan dia juga berperan besar terhadap raihan La Decima bagi Madrid, tentu hal tersebut adalah “aneh” dilakukan oleh suporter terhadap tim dan pemain sebuah klub yang mereka dukung.

Selain keanehan, anomali atau ketidakbiasaan juga dipertunjukkan Madridistas selama ini, mereka tidak segan untuk memberi pujian bagi pemain Barcelona!. Tercatat beberapa pemain Barcelona pernah mendapat standing ovation (tepuk tangan dengan berdiri) saat pertandingan Madrid vs Barca di Santiago Bernabeau.

Dulu di era 90an iego Maradona pernah mendapatkan itu lalu Ronaldinho juga mendapatkannya ketika menjadi aktor utama dibalik skor Madrid 0-3 Barcelona pada 2006. Dia membuat dua gol spektakuler yang membuat mayoritas Madridistas di Santiago Bernabeau tidak tahan duduk dan memberikan tepuk tangan untuk Ronaldinho, pernah pula seorang Lionel Messi menerima itu pada tahun 2009.

Dan terbaru dari pemain Barca adalah Andres Iniesta, yang menjadi aktor utama kekalahan 0-4 Madrid di Santiago Bernabeau musim ini, dia mendapat standing ovation dari suporter Madrid ketika digantikan menjelang pertandingan usai.

Sebuah anomali karena disatu sisi mereka kejam terhadap pemain dan bahkan legenda sendiri, namun disisi lain mereka tidak malu memberikan salute untuk pemain lain bahkan meskipun itu dari Barcelona.

Mereka juga tercatat pernah memberikan standing ovation kepada pemain non-Barca seperti Alessandro Del Piero, Steven Gerrard, Andrea Pirlo dan Francesco Totti. Apa yang dilakukan Madridistas terhadap pemain Barcelona dan beberapa pemain lain menunjukkan sebuah kesan dan wujud nyata sebagai penghormatan terhadap kualitas pemain yang berkelas dunia dan melegenda.

Tentu sangat aneh dan sebuah anomali bagi nalar kita, bagaimana mungkin Madridistas menghujat keras pemain Madrid sendiri dan memberikan standing ovation kepada pemain-pemain lawan yang bahkan itu pemain Barca?

Namun itu lah Madridistas, suporter dengan tingkah laku diluar dugaan yang menurut saya justru akan membuat cerita pertarungan El Clasico, Madrid vs Barca semakin menarik untuk senantiasa dinikmati hari demi hari.

Foto: republika.co.id