Perbedaan Gary Neville di Pinggir Lapangan dan Layar Kaca

Sepakbola seperti halnya cabang olahraga lain, juga bisa dipelajari bagaimana cara untuk memainkan olahraga ini dengan baik. Termasuk menentukan strategi bermain dalam sepakbola, juga bisa kita pelajari. Pada umumnya mereka yang mempelajari strategi permainan tidak jauh kaitannya dengan dimensi kepelatihan dalam sepakbola. Ya, dalam hal ini melatih sebuah tim dapat dipelajari, hal ini bisa didapatkan apabila seseorang ingin belajar.

Datanglah ke asosiasi sepakbola setempat untuk mendaftar pendidikan kepelatihan, anda bisa dapat sertifikat atau lisensi untuk melatih klub bola, tetapi harus memulai dari bawah karena pemberian lisensi dimulai dari yang terendah sebelum mencapai lisensi tertinggi. Kini melatih klub sepakbola bisa dilakukan siapa saja, tak perduli dia pernah bermian sepakbola profesional atau belum, semua punya kesempatan yang sama.

Dasar-dasar dalam pola strategi jika menjadi seorang pelatih bisa kita pelajari dengan baik dan itu akan berguna ketika menjadi pelatih sesungguhnya. Selain itu kemampuan analisis permainan, menilai performa pemain, membaca strategi lawan, hingga menakar kemampuan dan kelemahan baik itu dari tim sendiri dan juga tim lawan akan sangat dibutuhkan oleh seorang pelatih.

Akantetapi, kemampuan seseorang dalam membaca strategi, menganalisis sebuah pertandingan hingga menemukan kekurangan dalam sebuah tim belum tentu bisa diaplikasikan langsung dilapangan ketika menjadi pelatih beneran. Jika tidak percaya, tanyakan saja pada Gary Neville ketika melatih Valencia pada musim 2015-2016. Gary Neville, siapa yang tidak tahu kalau dia adalah legenda Manchester United yang merupakan jebolan class of 92 atau pemain akademi United angkatan 1992, bersama David Beckham, Ryan Giggs, Phil Neville (adiknya), Paul Scholes dan Nicky Butt.

Gary mengkapteni Red Devils sejak 2005 semenjak kepergian Roy Keane, dia menjabat kapten hingga pensiun di 2011. Bersama United, Neville mengkoleksi banyak gelar, diantaranya; 8 Premier League, 2 Liga Champions dan 3 Piala FA. Dia melahap 400 laga selama berkostum Merah, dan 85 bersama skuad timnas Inggris. Pensiun pada 2011, dia kemudian pernah melanjutkan karir dengan menjadi asisten pelatih timnas Inggris selain juga menjadi pundit (analis pertandingan) dan komentator di stasiun TV olahraga, Sky Sports.

Neville mulai menjadi pundit sejak 2011. Ketajaman Gary dalam menganalisis pertandingan dipuji berbagai pihak, diantaranya Gary Lineker dan Des Lynam. Dia dianggap sebagai pundit terbaik di Inggris karena analisisnya yang objektif dan tajam. Namun, tetap saja banyak kalangan berpendapat analisis Neville terkadang menjurus pada kritik pedas dan memerahkan telinga orang atau pihak yang dikritik tersebut. Salah satunya ketika mengkritisi kinerja Andre Villas-Boas semasa menukangi Chelsea.

Tidak hanya itu, dia juga sering memberi kritik pedas pada Arsenal, Liverpool, dan Manchester City, tetapi untuk Manchester United dia jarang memberi kritik yang pedas seperti untuk tim lain. Dalam hal inilah, mulai banyak kalangan setuju bahwa Neville tidak selalu objektif dan terkadang bias dalam memberikan kritik karena latar belakang dia yang merupakan orang-nya Manchester United.

Dipecatnya Nuno Espirito Santo dari kursi manajer Valencia pada akhir November 2015, membuka jalan bagi Neville untuk membuktikan bahwa dia juga hebat ketika menangani sebuah klub dan tidak hanya jago nyinyir dari layar kaca televisi. Di Valencia dia akan bekerja bareng adiknya, Phil yang sudah sejak awal musim 2015-2016 menjadi asisten bagi Nuno Santo. Duet kakak-adik Gary dan Phil sangatlah ditunggu kebolehannya, berkat reputasi hebat mereka di MU pada masa lampau ketika jadi pemain.

Meski begitu, Gary masih nir pengalaman melatih klub profesional, paling banter dia hanya menjadi asisten pelatih di skuad Three Lions sejak 2012, dimana jabatan ini tidak ia lepas meski telah menjadi pelatih Los Che. Selain belum pernah melatih tim pro, dia juga melatih klub Spanyol tanpa modal bisa berbahasa Spanyol dengan fasih. Bisa dibilang keputusan Valencia merekrut Gary Neville ibarat sebuah perjudian besar.

Valencia bakal menjadi bukti perbandingan, seberapa hebatnya kemampuan analisis Gary Neville antara di layar kaca dan dipinggir lapangan. Disini terbukti bahwa Neville ternyata hanya omong doang. Gary gagal total bersama Valencia. Gugur dari fase grup Liga Champions dan juga gugur Europa League, menghuni zona bawah klasemen liga, dan tersingkir dari Copa Del Rey dengan dibantai 7-0 oleh Barcelona. Analisis tajam melihat pertandingan ternyata tidak mampu Neville terapkan pada tim yang ia latih. Apakah perbedaan bahasa berpengaruh? Seharusnya tidak terlalu, karena hal ini bisa diminimalisir oleh Phil yang terlebih dulu mengenal tim dan lebih fasih berbahasa Spanyol.

Hasil jelek memaksa Neville dipecat pada Maret 2016 lalu. Setelah mengakhiri ikatan sebagai asisten pelatih Inggris pada Euro 2016, awal musim 2016/2017 dia kembali ke Sky Sports untuk kembali menjadi pundit.

Terkait kegegalan Neville, ternyata ada beberapa pihak senang dengan kegagalan Neville, salah satunya adalah mantan pemain Chelsea, Hernan Crespo. Dia senang dengan kegagalan Neville, ketika Crespo berujar bahwa melihat pertandingan dari TV  dengan dari bangku cadangan itu sangatlah berbeda. maksud dari Crespo, anda bisa berkata apa saja karena tidak merasakan langsung tekanan pertandingan, namun ketika anda berada langsung dari pinggir lapangan, membuat satu keputusan kecilpun terkadang sangat sulit untuk dilakukan.

Sesuatu yang diingat dari Neville setelah pensuin mungkin adalah ketika menjadi komentator, bukan pelatih bola. Salah satu yang fenomenal tentunya teriakan Gary saat Fernando Torres mencetak gol di Camp Nou pada semifinal Liga Champions 2011/2012, sangatlah khas dan melahirkan istilah tersendiri “goalgasm”.

Dari perjalanan karir Gary Neville yang sangat pintar menganalisis pertandingan dan memberi kritik, namun gagal total ketika terjun langsung sebagai pelatih, kita dapat memetik sebuah hikmah. Bahwa kita tidak akan pernah tau seberapa sulit sesauatu hal, jika kita tidak terjun langsung dan ikut terlibat di dalamnya. Karena menjadi pelatih sepakbola itu sangat susah dan 100 persen lebih sulit daripada sekedar duduk manis, mengkomentari dan mengkritisi jalannya sebuah pertandingan. Iya kan, Neville?

Foto dari theguardian.com

Dilly-Ding Dilly-Dong!, Kunci Leicester City Juara : Passion Bermain

Seringkali kita mengatakan bahwa kualitas pemain dan nama besar menentukan prestasi sebuah klub, memang benar adanya beberapa klub dengan pemain berkualitas membuktikannya.

Kita dapat melihat contoh pada Barcelona, Madrid, Bayern, Chelsea ataupun Juventus dan klub besar lain yang mampu bersaing dalam percaturan sepakbola Eropa. Gelar juara dan menapaki tingkat tinggi dalam sebuah kompetisi bergengsi menjadi hal yang lumrah bagi klub-klub besar dan ditambah dengan dukungan keuangan yang besar pula hal tersebut dapat dipertahankan bahkan untuk bertahun-tahun.

Tetapi sebenarnya tidak hanya; kualitas pemain, nama besar klub dan uang saja yang membuat mereka mampu mencapkan dominasi terhadap klub-klub lain, ternyata diluar faktor tersebut ada satu hal yang mampu membuat dominasi mereka awet yaitu “gairah” atau passion bermain.

Gairah dalam bermain sepakbola sangatlah penting dalam menjaga hasrat pemain-pemain yang bisa menjaga performa dan tetap selalu berusaha untuk bersaing dalam perburuan gelar juara.

Ya, gairah bermain sepakbola sangat fundamental bagi kestabilan tim meraih kemenangan demi kemenangan setiap pertandingan yang dapat berujung raihan gelar juara.

Gairah begitu penting, analoginya adalah ketika sebuah klub memperoleh gelar juara yang ditargetkan, mereka bisa mengalami rasa puas terhadap pencapaian, sehingga di musim-musim selanjutnya gairah dalam bermain tersebut akan mampu menjaga “rasa lapar” untuk selalu meraih prestasi demi prestasi.

Setiap tim memiliki target masing-masing entah dengan status juara bertahan, pengejar titel juara ataupun tim dengan tujuan lain, pasti mereka akan berusaha sekuat tenaga demi mencapai target-target tersebut.

Gairah untuk mencapai target-target tersebut haruslah selalu ada, karena logikanya bagaimana mungkin sebuah klub akan terus berjuang demi target mereka, jika mereka sendiri tidak punya gairah untuk mewujudkan target tersebut?

Disini jelas bahwa gairah bermain sepakbola tersebut akan menjaga “api” semangat dalam jiwa pemain  untuk tetap berjuang tanpa lelah dalam arena pertarungan di lapangan demi menggapai target yang diinginkan.

Kenyataan tersebut menjadi fenomena di berbagai liga musim ini, gairah bermain yang sebenarnya adalah faktor non-teknis malah menjadi pembeda dalam perjalan berbagai klub musim ini.

Yang paling menjadi sorotan adalah Liga Inggris 2015-2016 ini, beberapa tim mengalami periode yang tidak biasa dan ada tim “asing” yang tidak hanya sekedar bersaing memperebutkan tiket Eropa, namun dengan luar biasanya justru menjadi kandidat juara.

Tim yang dimaksud adalah Leicester City dan Tottenham Hotspur, ketika nama besar seperti Liverpool, Manchester United, Manchester City, Arsenal dan bahkan juara bertahan Chelsea mengalami musim yang dikatakan buruk, The Foxes dan Lily Whites mengambil kesempatan untuk menguasai peta persaingan menjadi nomor satu di Inggris.

Padahal jika dilihat dari kualitas pemain, dua tim ini bukanlah “tempatnya” berada di papan atas apalagi untuk Leicester, kualitas pemain mereka dibawah rata-rata mengingat mereka musim lalu adalah kandidat degradasi, namun sangat mengejutkan ketika mereka menjadi kandidat juara musim yang baru saja berakhir ini.

Kalau yang berada di puncak adalah Tottenham mungkin banyak yang menganggap “sedikit wajar”, ketika tim-tim besar berada dalam situasi paceklik dan dengan kualitas yang terhitung tidak beda jauh dengan tim besar, membuat Tottenham mampu berbuat banyak dengan pemain-pemain berkualitas seperti Harry Kane, Bamidele Alli, Christian Eriksen, Jan Vertonghen, dan Hugo Lloris.

Namun yang berada di puncak bukanlah mereka tetapi justru tim yang kualitasnya berada jauh dibawah mereka, Leicester City, yang sebenarnya kualitas tim ini tidak lebih baik dari tim-tim pejuang jeratan degradasi macam Newcastle atau Aston Villa.

Tetapi dengan berbagai hasil yang diraih selama ini menunjukkan bahwa kualitas pemain bukanlah faktor utama yang menjadikan Leicester City seperti ini, dan hal tersebut adalah gairah atau passion yang besar dalam bermain sepakbola yang dimiliki pemain-pemain yang dimanejeri oleh pelatih kaya pengalaman asal Italia, Claudio Ranieri.

Ranieri yang datang di awal musim setelah pemecatan Nigel Pearson akibat kasus anaknya (James Pearson) berhasil menyuntikkan keceriaan dan semangat bermain bagi tim. Sehingga gairah bermain serdadu Leicester selalu berapi-api disetiap game musim ini, lihat saja permainan Riyadh Mahrez dan rekan di lapangan, meski dari segi teknis mereka kalah namun dengan gairah tersebut semangat mereka tak pernah padam untuk selalu berjuang di lapangan.

Apalagi sitem permainan ramuan The Tinkerman tidaklah muluk-muluk, permainan simpel dengan serangan balik khas Italia dipadu dengan  power and speed ala Inggris membuat Leicester sering menyulitkan tim manapun, entah itu tim besar ataupun kecil mereka bisa dikalahkan.

Ranieri juga menekankan kolektifitas permainan entah siapapun yang diturunkan di lapangan, sehingga berdasar pada skema yang simpel dan kekompakkan bisa membuat kualitas pemain yang biasa akan tertutupi dengan permainan kolektif tim.

Selain itu gairah mereka dalam bermain sepakbola sangatlah tinggi, terbukti banyak hasil bagus pertandingan musim ini yang diraih ketika waktu hampir habis, selain itu mereka juga beberapa kali melakukan comeback untuk mengamankan hasil atau juga mencuri kemenangan.

Tanpa gairah yang tinggi disetiap jiwa pemain Leicester, tentu kemengan dengan late goal maupun membalikkan keadaan akan sulit direalisasikan apalagi jika melawan tim besar yang secara kualitas berbeda jauh dari Leicester.

Gairah tinggi itulah faktor kunci yang mampu menjadikan Leicester melambung kali ini, mereka memanfaatkan momen disaat klub lain seperti Chelsea atau MU sedang lesu dan seperti “kehilangan” gairah bermain bola sehingga tercecer papan tengah klasemen.

Gairah, semangat, kolektifitas dan keriangan bermain bola itulah yang juga membuat Leicester bermain lepas dan tanpa beban disetiap pertandingan, tidak ada target tinggi yang dicapai. Ketika mulai sering berada level atas, Ranieri berujar target timnya hanya 40 poin (aman dari degradasi), ketika Premier League sudah berlangsung lebih dari 20 pekan lebih, dia tetap mengatakan targetnya hanya untuk berada di papan tengah.

Baru setelah menyentuh 30an laga, Ranieri mengatakan suporter Leicester dipersilakan untuk bermimpi lebih jauh dan dalam meski disatu sisi dia tetap mengatakan, Tottenham adalah favorit juara.

Apa yang dikatakan Ranieri dengan tetap merendah meski sedang berada di puncak performa hanyalah bertujuan untuk melepaskan beban disetiap pundak pemain dan tetap memposisikan Leicester sebagai underdog.

Menjaga aura dan pesona underdog memang harus dilakukan Ranieri demi menjauhkan tim dari ekspektasi berlebih yang justru mampu melimpahkan beban dan ekspektasi itu kepada tim-tim dibawah mereka.

Keberadaan Leicester sebagai nomor satu di klasemen hingga musim ini berakhir pasti membuat seluruh penikmat Liga Inggris khususnya dan sepakbola pada umumnya tak bisa mengalihkan pandangan dari hal tersebut.

Yang juara musim ini adalah Leicester, mungkin keberhasilan itu akan membuat seluruh Britania dan “dunia” ikut bahagia, bagaimana mungkin tim yang miskin, pemain yang standar dan reputasi klub yang tidak bersinar sama sekali dan musim kemarin “hampir terdegradasi” justru menjadi juara musim ini?

Ya, sesuai dengan julukan Si Rubah (The Foxes), mengejutkan adalah karakter hewan tersebut yang kini bertransformasi dalam wujud Leicester City, dengan passion yang sangat bergelora mereka terus membuat kejutan demi kejutan. Dan kini hasilnya kita semua tahu bahwa Leicester kampiun Inggris!!!

Tentu merupakan hal yang sangat menarik melihat kapten Wes Morgan (yang baru merasakan Premier League musim lalu) mengangkat trofi Liga dan melihat Mahrez, Vardy, Kante, Drinkwater, dan Schmeichel bertarung di Liga Champions untuk musim depan dengan status  sebagai “JUARA” dari Inggris. Dilly-Ding Dilly-Dong, Come on the Foxes!!

Foto dari theguardian.couk